Oleh: PDT. DR. A.F. PARENGKUAN*)
Tahun 2009 menjadi penting ketika Euforia Pemilu di mana masyarakat dan bangsa Indonesia disibukkan dengan kegiatan pemilihan calon-calon anggota Dewan perwakilan Daerah (DPD) dan calon-calon anggota legislatif tingkat pusat (DPR RI),DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota, yang bermuara pada pemilihan presiden baru negeri ini. Di sekitar kita masih nampak kegiatan-kegiatan yang belum selesai. Bagi Gereja Masehi Injili di Minahasa khususnya, euphoria sejenis sementara berlangsung dalam rangka pemilihan pelayan-pelayan khusus: Penatua dan Syamas, yang nanti akan memuncak dengan pemilihan Badan Pekerja Sinode di sekitar bulan Maret 2010. Dalam semua itu ada godaan-godan berbuat dosa. Untuk itulah tulisan pendek ini disediakan guna direnungkan oleh para pemimpin, teolog dan warga gereja.
“Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya." (Kej. 4:7).
Perkataan-perkataan dalam ayat yang dikutip di atas berada dalam satu kesatuan cerita tentang Kain dan Habil, yang dalam Alkitab, Kejadian pasal 4, disebut sebagai anak-anak Adam dan Hawa. Dalam buku-buku yang berisi uraian-uraian penafsiran Kitab Kejadian, nama-nama ini tidak dipahami sebagai tokoh historis melainkan sebagai representasi manusia pada umumnya (kata Adam dalam kamus saku Ibrani-Inggris karya Karl Feyerabend (Langenscheidt Hodder and Stoughton, hlm. 5 diterjemahkan dengan man dan secara colektif berarti manusia atau seseorang.). Kata Adam berkaitan dengan kata adamah yang berarti tanah. Dalam Kejadian 2:7 dikatakan bahwa Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah. Mungkin karena itulah maka adam berarti manusia. Demikian juga dengan Hawa yang diberi arti ‘Ibu dari segala yang hidup’. “Manusia itu memberi nama Hawa kepada isterinya, sebab dialah yang menjadi ibu semua yang hidup” ( Kej. 3:20). Nama Kain dihubung-hubungkan dengan suku Keni (nampaknya kedua kata Kain dan Keni mempunyai akar kata yang sama : et Qajin dan et haqein). Sedangkan kata Habel dari kata hebel mempunyai arti “hembusan angin” atau “kesia-siaan” , Sehubungan dengan cerita dalam pasal ini, Habel tidak berumur panjang karena dibunuh oleh Kain.
Pengertian nama-nama di atas sengaja diberikan untuk menjelaskan bahwa penulis kitab Kejadian tidak bermaksud melaporkan kepada kita sebagai pembaca tentang peristiwa sesungguhnya dari kelahiran Kain dan Habil maupun tentang benar tidaknya peristiwa pembunuhan di antara manusia pertama itu. Pemakaian kata “di depan pintu” dalam Kej 4:7 di atas dengan jelas menunjukkan bahwa ketika cerita ini ditulis, penulis telah mengenal pintu (rumah). Lagi pula dengan menyebut bahwa Kain hidup sebagai petani dan Habil sebagai peternak menunjukkan bahwa tidak ada maksud penulis kitab Kejadian untuk mengidentifikasi Adam, Hawa, Kain dan Habil sebagai manusia-manusia pertama dari zaman batu atau manusia pemburu hewan yang masih tinggal di goa-goa sebagaimana manusia zaman kuno yang diulas dalam penelitian-penelitian arkheologis/anthropologis. Perhatikanlah pula apa yang tertulis dalam Kej. 4:16-17, bahwa Kain, setelah berdialog dengan Tuhan, segera pergi ke tanah Nod di sebelah timur Eden dan beristeri di sana lalu memperoleh anak yang diberi nama Henokh. Dari manakah isterinya itu? Penulis kitab Kejadian tidak menjelaskan secara rinci tentang hal ini. Tetapi dari dua ayat itu kita beroleh petunjuk yang memberi pengertian kepada kita bahwa konteks cerita tentang Kain dan Habil adalah suatu masyarakat tertentu di masa kehidupan bangsa Israel. Penulis hendak mengetengahkan adanya suatu sifat dalam diri manusia yakni iri hati dan niat jahat. Kain sebagai representasi seseorang yang tidak merasa puas karena persembahannya tidak diterima Tuhan, merasa dengki terhadap Habil yang persembahannya diterima oleh Tuhan. Bagi penulis kitab Kejadian (yang diperkirakan berasal dari kalangan imam-imam Israel), kedengkian dan niat jahat sudah nampak di zamannya. Para penafsir kitab-kitab Perjanjian Lama menyebut cerita seperti ini sebagai suatu aitiologi (cerita sebab). Apa sebabnya ada pembunuhan seseorang terhadap sesamanya? Jawabnya: karena di zaman dulu Kain telah membunuh Habil. Tindakan kekerasan sedemikian berlanjut pada generasi demi generasi. Seseorang tidak segan-segan menghabisi nyawa sesamanya karena rasa iri hati dan dengki. Seseorang yang mempunyai sifat mendengki tidak mau jika ada pihak lain yang lebih maju dan lebih suskes. Dengan demikian rasa dengki yang dibiarkan bertumbuh dalam pikiran seseorang menjadi permulaan dari ketidak harmonisan hidup. Rasa dengki meningkat menjadi rasa benci dan selanjutnya mengarah kepada niat jahat untuk menghabisi nyawa seseorang. Penulis kitab Kejadian menyebut hal ini dengan memakai sebutan “tidak berbuat baik”, yakni adanya sesuatu hal yang mengganjal seseorang untuk berbuat baik. Iri hati dan niat jahat dikategorikan sebagai dosa yang mengintip di depan pintu, bagaikan binatang buas dan liar yang mengamat-amati apa yang terdapat di belakang pintu rumah dan siap untuk diterkam.
Iri hati dan dengki hanyalah sebagian dari gejala-gejala dalam diri manusia yang dapat mengantar seseorang berlaku jahat. Dalam pengajaran para imam, sebenarnya iri hati dan dengki itu dapat dikendalikan jika seseorang memiliki kesediaan untuk bersikap positif terhadap orang lain. Akan tetapi jika seseorang lebih memelihara perasaan-perasaan negatif itu dalam dirinya maka iri hati dan dengki dapat berkembang menjadi niat jahat yang bermuara pada suatu tindak kekerasan dan pembunuhan. Adanya niat yang jahat dalam diri seseorang dapat membuahkan banyak perbuatan-perbuatan yang merugikan dan menghancurkan orang lain, mengambil sesuatu yang bukan haknya serta tidak menghargai harkat hidup orang lain. Jika seseorang membiarkan dirinya dikuasai oleh roh jahat, maka mata hatinya akan tertutup oleh keinginan hatinya dan keegoisan dirinya. Ia tidak peduli lagi terhadap norma-norma agama dan etika moral yang menjadi tiang-tiang penyanggah kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian seseorang akan bertindak sebagai hewan pemangsa yang tidak segan-segan menghancurkan kehidupan mereka yang ada di sekitarnya.
Kain dan Habil Masa Kini
Di bumi Nyiur Melambai ini ada semboyan “torang samua basudara”. Dari segi pandangan positif, semboyan ini telah mendorong masyarakat kita untuk memelihara rekatan persaudaraan dalam ikatan-ikatan kerukunan yang dalamnya terdapat tekad untuk menjaga kedamaian antara seseorang dengan yang lain, antara keluarga dengan keluarga lain dan antara suku dengan suku lainnya. Isi dan maksud tujuan semboyan ini sangat indah dan mulia. Namun jangan dikira bahwa semua lapisan masyarakat benar-benar telah memegang dan mengamalkan maksud yang mulia itu. Kadangkala kita mendapati bahwa ungkapan itu hanya pemanis di bibir, karena dalam pergaulan sehari-hari kita juga dapat temukan adanya wajah-wajah yang menggunakan masker (topeng), yang dekat dengan kecenderungan bersikap “ lain di mulut lain di hati”. Di banyak kesempatan dan kesempitan, sang dosa yang mengintip di depan pintu seringkali tidak diindahkan oleh yang empunya pintu hati. Terlebih kalau dalam diri seseorang sudah bermukim kecurigaan dan ketakutan akan kekuatan-kekuatan orang yang lain. Di bidang politik, terutama di masa kampanye pemilu, ketika system pengumpulan suara berganti dari system nomor urut ke system suara terbanyak, godaan untuk menjatuhkan orang lain pun berperan sebagai dosa yang mengintip di depan pintu. Tidak terkecuali seorang anggota terhadap rekan sesama partai. Sedikit peluang untuk memperoleh simpati dari calon pemilih pun dimanfaatkan dengan membiarkan diri terjerumus kepada dalih “berlaku bijak demi mendapatkan suara terbanyak”. Kebijakan yang dimaksud tidak jarang dilakukan dalam wadah “kampanye hitam”, dimana seseorang bukannya waspada jangan sampai dosa yang mengintip di depan pintu masuk, melainkan mengubahnya dengan mempersilahkan dosa itu bercokol di ruang kehidupannya, di relung hati yang tidak lagi mengindahkan etik dan moral dan membiarkan dosa merusak bahkan membunuh karakter orang yang lain.
Tahun ini adalah tahun dimana ada banyak dosa mengintip di depan pintu. Momen-momen penting akan dilewati oleh siapa saja, baik pemimpin, calon pemimpin bahkan seluruh lapisan masyarakat. Bukan hanya di lingkup masyarakat umum dan di bidang politik, dalam pelayanan yang berlabel gerejawi dan lembaga yang berkonotasi suci pun dosa dapat mengintip di depan pintu hati seseorang. Tidak lagi merupakan rahasia di kalangan jemaat bahwa kecenderungan sekelompok elit gereja maupun sebagai pribadi mulai saling memanfaatkan dosa yang mengintip di depan pintu guna kepentingan sebuah klik ataupun sesosok pribadi. “Korps Kudus” di kalangan pendeta pun ternoda oleh dosa itu. Ini dapat mengembangkan dosa yang lebih besar lagi yang akan tertular dalam kehidupan umat secara lebih luas. Karena itu. awaslah! “Jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu”.
======================================
Hidup Tanpa TUHAN, Adalah Sia-sia
Oleh: Venly D. Massie
Bahan Bacaan: Penghotbah 2:4-11
“Ketika aku meneliti segala pekerjaan
yang telah dilakukan tanganku dan
segala usaha yang telah kulakukan
untuk itu dengan jerih payah,
lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan
dan usaha menjaring angin;
memang tak ada keuntungan di bawah matahari”
(Pengkhotbah 2:11)
Di sebuah balkon rumah yang mewah, pak Simon sedang termenung sendiri di atas kursi rodanya dan tampak layaknya seorang raja yang kesepian. Maklumlah di rumah yang besar dengan halaman yang luas ini, ia hanya bisa menyaksikan orang lain lalu-lalang dari kejauhan. Pak Simon, sukses berkarier, masa mudanya dilalui dengan begitu sibuk, hingga tidak ada waktu istirahat. Sampai suatu ketika, di tengah kelelahan seharian bekerja, mobil yang ia kendarai menabrak sebuah pohon yang tidak hanya mengakibatkan kelumpuhan baginya tetapi juga ia kehilangan istri dan anak-anaknya. Kini ia sedang menyesali hidupnya, bukan karena rumah, uang, kekayaan atau warisannya yang ia tidak tahu kepada siapa akan ditinggalkan, tetapi karena umurnya yang telah lanjut. Ia menyesal di masa hidupnya yang panjang, ia tidak punya kenangan waktu yang indah untuk diingat bersama keluarga, bersama jemaat dan bersama TUHAN, yang ada hanyalah kenangan kesibukan, pekerjaan, kelelahan, kesuksesan yang kini baginya tidak dapat dibanggakan lagi.
Saudaraku…
Siapa sih yang tidak mau hidupnya berhasil? Tentu kita berusaha agar segala harapan kita terlaksana dengan baik, segala pekerjaan kita berhasil dan semuanya itu akan memberikan rasa sukacita di dalam hati … ya rasa ‘Sukacita’. Oleh karena hal itu, maka dalam hidup ini manusia berlomba-lomba mencari kesejahtraan, dan mungkin kamu juga termasuk dalam perlombaan ini. Memang adalah hal yang wajar, jika kita turut serta dalam perlombaan ini dan berusaha untuk meraih kebahagiaan.
Saudaraku… Raja Salomo, penulis kitab Pengkhotbah, dalam ‘Perlombaan Kehidupan,’ ia mengalami kemenangan yang gemilang. Segala usahanya berhasil, bayangkan saja, katanya tidak ada manusia di bawah kolong langit ini yang berhasil seperti dia. Memang, perkataannya ini bersifat ‘ungkapan yang berlebihan,’ tetapi setidaknya, Salomo mau mengungkapkan bahwa dalam hidupnya sebagai manusia, ia telah memperoleh segala berkat, kekayaan dan kehormatan, pendek kata yang dicari manusia telah dimilikinya.
Tapi, suatu yang terasa janggal ketika saudara menyimak ungkapan Penghotbah, berikut ini: “Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari (Penghotbah 2:11).” Kesia-siaaan maksudnya usaha yang tidak ada artinya, atau yang tidak berfaedah. Segala yang diusahakannya, dengan jerih payah dengan hasil-hasilnya, semuanya tidak ada artinya. Layaknya menjaring angin! Ya… menjaring angin kata Pengkhotbah. Apa yang dikatakan oleh Penghotbah, hampir sama yang dialami oleh pak Simon dalam cerita tadi.
Kejanggalan ini membuat kita bertanya, “Mengapa demikian kata pengkhotbah? Apakah ia bermaksud, kita yang tinggal di dunia ini tidak perlu berjerih payah, bersusah-susah bekerja, membangun hidup, atau mencari kesejahteraan? Demikiankah maksudnya? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini dapat ditemukan di akhir catatan kitabnya, dimana Pengkhotbah mengingatkan, “Takutlah akan Allah dan berpeganglah pada printah-printahNya (Penghotbah 12:13).”
Maksud Pengkhotbah ialah, ‘Apa yang utama dalam hidup ini?’ Bukan berarti segala jerih dan juang manusia di dunia ini tidak ada artinya, tetapi Apakah itu yang utama?,’ Atau kita setuju dengan Penghotbah bahwa yang utama dalam hidup bukan jerih dan juang melainkan adalah menghayati kehadiran Allah dalam hidup dan kerja.
Saudaraku…
Baiklah kamu bekerja dan berusaha untuk mencukupi kebutuhanmu. Kamu berupaya agar sukses dalam setiap cita-citamu. Tetapi di setiap pekerjaanmu, ingatlah akan TUHAN yang memberikannya kepadamu, yaitu bekerja dengan benar, terpuji dan tak tercela, sambil tetap mengucap syukur untuk setiap hasil yang kita peroleh setiap hari. Dan ketika saudara sibuk dengan pekerjaan, sediakanlah waktu untuk TUHAN. Ada orang yang karena kesibukan bekerja, menjadi serakah dengan waktu, sampai waktu yang dikhususkan untuk TUHAN diambil untuk berkarier.
Inilah kritik Penghotbah dalam hidup orang beriman,”bahwa segala usaha yang dilakukan, dengan tidak takut akan Tuhan adalah sia-sia”. Ketika kita berusaha, berusaha dan terus berusaha, tanpa merasakan akan kehadiran TUHAN, tanpa punya waktu untuk mendengar, berbicara dan bergaul dengan TUHAN maka semuanya akan sia-sia.
Marilah menguji hidup kita, hidup yang singkat dan seketika ini. Setiap pagi kamu menikmati hidup yang Ia berikan, Ia memberi kamu talenta, pekerjaan, keluarga, makanan dan pakaian dan Ia memberi kamu berkat yang tak terhitungkan. Tetapi, berapa banyak waktu dalam hidupmu yang kamu sediakan untuk TUHAN? Adakah tubuhmu, tangan, kaki, mulut, pikiran dan perasaan, kamu berikan sebagai persembahan kepadaNya?
Saudaraku… Waktu akan terus berlalu, umurmu akan terus bertambah dan bertambah. Semasih punya kesempatan, Ingatlah akan TuhanMu dalam hidupmu. Bukankah Tuhan pernah berfirman, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Matius 6:33). Karena, di dalam Tuhan, segala jerih payah kita tidak akan sia-sia. Amin
======================================
Budaya “Rasa Bagitu” dan Minggu Sengsara
Oleh: Pdt. Augustien Kapahang-Kaunang, MTh
Sejak mulai dilaksanakannya pemilihan langsung pemimpin masyarakat oleh masyarakat secara langsung, kita banyak mengalami dan mendengar bahwa ada (berapa persen?) yang memilih seseorang karena ‘rasa bagitu’. Rasa bagitu karena sudah mendapat sembako dari para calon baik yang diantar langsung atau melalui tim suksesnya. Rasa bagitu karena sudah makan dan minum pemberiannya. Rasa bagitu karena pemberiannya sudah menjadi darah dan daging. Belum lagi, rasa bagitu karena keterkaitan keluarga, karena sekampung, karena seagama. Dari ungkapan ini kita dapat menangkap paling kurang dua realitas tentang kehidupan bermasyarakat kita di tanah Minahasa. Pertama, sebagian besar masyarakat kita menaruh hormat atas pemberian seseorang. Sulit baginya untuk menolak pemberian orang. Masyarakat kitapun masih sangat kuat terikat dengan rukun keluarga. Banyak sekali rukun keluarga. Akhir-akhir ini makin banyak upaya untuk menghimpun anggota keluarga, menyusun silsilah. Ada pula rukun-rukun baru didirikan. Kedua, masih ada (banyak?) masyarakat yang ‘susah’ cari dan dapat makan dan minum. Juga ada yang ‘malas’ cari makanan. Kita ingat kasus penyimpangan dana BLT bagi orang yang tak berhak. Padahal BLT hanya bagi mereka yang betul-betul susah atau miskin. Tentang hal ini, ada keluarga yang sengaja mencatatkan diri sebagai keluarga miskin, dan ada pula yang didaftarkan oleh pimpinan desa/kampung agar bisa berbagi ‘rejeki’.
Bagi saya, dua hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di tanah Minahasa yang secara nasional di atas rata-rata tidak berbanding lurus dengan ‘mental, spiritual dan budaya egalitarian’ bahkan dengan keberagamaan kita. Bahkan sungguh memiriskan hati ada banyak orang pandai dan punya status sosial dalam masyarakat termasuk agama/gereja yang demikian. Mungkin kita dapat mengatakan bahwa masih ada masyarakat kita yang pandai/berpendidikan tinggi tetapi kurang beretika/beradab dalam arti belum dewasa secara mental dan spiritual. Kenyataan ini a.l. digunakan dengan baik sekali oleh para calon yang ingin mencapai obsesinya menjadi pemimpin. Bagi orang yang tidak termakan sembako, money politics dan serangan fajar, bisa jadi ‘lawan’nya, apalagi kalau mengkritisinya.
Alasan memilih seperti ini mengakibatkan hanya orang yang punya duit yang dapat menjadi pemimpin. Kita sering mendengar ungkapan bahwa untuk menjadi pemimpin selain mampu dari segi intelektual, juga mampu memberi dan membagi uang. Sangat jarang kita mendengar orang berkata untuk menjadi pemimpin haruslah seorang dikenal baik, jujur, adil, mengerti persoalan masyarakat dan berjuang bersama masyarakat. Tipe pemimpin seperti ini kan tidak perlu uang banyak atau tak perlu orang kaya. Ia kan pasti akan mendapat gaji/tunjangan/honorarium yah … dapat penghargaan dari hasil kerjanya. Kan uang untuk program dapat dianggarkan dan dicari bersama, apalagi kalau memang sudah dianggarkan oleh negara. Belum lagi, di jaman ini banyak orang yang menyandang gelar akademik tinggi bahkan tertinggi tetapi moral spiritualnya tak sebanding dengan gelar yang disandangnya. Bahkan sering kita dengar ungkapan a.l. : “memang dia pande, maar pande beking susah orang, pande beking bodok orang, lihai berorganisasi.” Banyak orang mendadak jadi kaya dengan cara yang tidak wajar Mungkin keadaan ini yang mengundang KPK terus bolak-balik Jakarta-Manado-Jakarta. Bila kita memilih orang-orang seperti ini, maka akan ada saatnya ia akan mengambil kembali apa yang pernah ia beri pada waktu kampanye. Sekarang ia tebar senyum dan dengan pendekatan dan penampilan yang ‘low profile’ disertai rayuan program seolah-olah untuk rakyat. Kata orang : “kan nanti ada sekian persen untuk kantongnya. Makin banyak program (biarpun bukan kebutuhan rakyat), makin besar pula masukan ke kantong pribadi.”
Wah … apakah kita tega membiarkan kesempatan serta praktek rasa bagitu ini menjadi budaya kita orang Minahasa? Apakah kita merasa nyaman mendengar dan menyaksikan KPK bolak balik datang ke daerah kita? Apakah kita merasa nyaman dengan alasan bahwa hanya ada kesalahan administrasi saja (bukankah orang Minahasa berpendidikan)? Apakah kita dapat berbangga dengan kekristenan yang mayoritas di tanah ini ? Apakah kita berbangga dengan banyaknya dan megahnya gedung gereja, kantor gereja serta pastori? Lalu, apa artinya stiker yang bertuliskan “Aku bangga GMIM” ?
Dalam kalender gereja sedunia, kita umat kristen sedang berada di minggu-minggu sengara Tuhan Yesus. Kita sedang menghayati penderitaan sampai peristiwa salib-Nya. Kita ingat dua cerita pengkhianatan terhadap Tuhan Yesus. Pertama oleh Yudas yang meminta imbalan untuk dapat menyerahkan Yesus kepada para imam kepala. Yudas seorang murid meminta bayaran untuk keperluan para imam. Dengan 30 keping perak (kira-kira 1200 rupiah masa itu) Yudas berhasil. Demikian juga para imam (pengantara umat dengan Allah, pemimpin ibadah) yang memakai kuasa jabatan dan kuasa uang menghalalkan segala cara seperti menyogok orang (Yudas) untuk mendapatkan Yesus. Di sini baik pengikut Yesus maupun pimpinan agama sama-sama terlibat dalam persekongkolan menangkap Yesus. Uang bukan hanya sebagai alat tukar kebutuhan manusia. Uang menjadi alat tukar untuk menjual manusia. Kedua, dengan ciuman Yudas berhasil mengantar orang untuk menangkap Yesus. Ciuman sebagai tanda kasih sayang atau cinta atau penghormatan/tanda persaudaraan, dipakai lihai oleh Yudas untuk dapat menangkap-Nya. Jadi, hati-hati dengan ciuman. Tidak semua orang yang berlaku baik itu bermaksud baik. Tidak semua orang yang bermuka manis, murah senyum dan selalu bersahabat itu bermaksud baik. Bahkan, tidak semua pengikut Yesus adalah pengikut Yesus yang sejati. Tidak semua pemimpin (masyarakat dan atau agama/gereja) adalah orang baik dan menjadi berkat bagi orang lain.
Inilah tantangan kita yang sedang dalam persiapan pesta demokrasi di minggu-minggu sengsara ini, bahkan hari pemilihan jatuh sehari sebelum hari Jumat Agung. Apakah kita benar-benar mengikuti-Nya di jalan sengsara karena kebenaran, keadilan, kejujuran atau kita menyengsarakan diri sendiri dengan menyerahkan diri disengsarakan oleh oleh kuasa jabatan dan uang? Mari kita merenung dalam-dalam. Mari kita berbenah diri. Mari kita bertobat.
Minggu Sengsara 2, 2009
Catatan: Renungan ini pernah dimuat di Majalah Inspirator Edisi Januari-Maret 2009
0 komentar :
Posting Komentar