Exodus - No. 2 Tahun XVII, 2010
Oleh Rikson Ch. Karundeng
Abstract:
This
paper reviews the concept of "Nuwu I Tu'a" as the original ethics Tou
Minahasa. Discussing the topic of cultural values Minahasa, according to the
author is to raise and grow back the noble values “Tou” Minahasa to be ethical
and philosophical basis in the life of a complex society. From these
excavations shows that the concept of "Nuwu 'I Tu'a" contains the
meanings that can didialogkan theology with theological concepts developed by
the church.
Secara teoritis-filosofis, etika adalah hal-hal yang berkaitan dengan
tingkah laku moral seseorang ataupun masyarakat. Sedangkan moral adalah
nilai-nilai ideal yang diyakini oleh seseorang atau masyarakat sebagai landasan
dan tolak ukur sikap etis. Jadi, etika merupakan aktualisasi nilai-nilai ideal
dalam kehidupan sehari-hari lewat tingkah laku seseorang atau masyarakat.
Berdasarkan nilai-nilai ideal yang ada, orang belajar tentang hal yang
sebenarnya penting bagi kehidupan, belajar tentang apa yang mesti atau tidak,
atau belajar apa yang baik dan apa yang tidak baik.[1]
Bagi masyarakat tradisional, standar moral dan etis itu terungkap lewat
kebiasaan-kebiasaan atau aturan-aturan yang tidak tertulis, yang diwariskan
secara turun-temurun. Kebiasaan, cara (kelakuan dsb.) yang sudah menjadi
kebiasaan ini, disebut adat.[2] Ensiklopedi Indonesia menjelaskan, adat sebagai sesuatu
yang dikenal, diketahui dan diulang-ulang serta menjadi kebiasaan dalam
masyarakat berupa kata-kata atau macam-macam bentuk perbuatan.[3] Bagi masyarakat tradisional Minahasa, kebiasaan-kebiasaan
atau aturan-aturan yang tidak tertulis, yang diwariskan secara turun-temurun
disebut “Nuwu’ I Tua”. Secara khusus,
adat atau Nuwu’ I Tu’a di masyarakat
tradisional Minahasa, itulah juga etika asli orang Minahasa.
Adat merupakan bagian penting kebudayaan manusia dan sangat mempengaruhi
(kalau bukan menentukan) cara dan bentuk kehidupan komunitas masyarakat, baik
secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal menunjuk pada “sesuatu” yang
berada di atasnya, yang “menguasai” dan “menentukan” keberadaan serta masa
depannya. Secara horizontal menunjuk kepada relasi dan tempatnya dalam tatanan
sosial kemasyarakatan.[4]
Dalam kajian-kajian ilmiah tentang kebudayaan masyarakat etnis, maka
orientasi nilai budaya masyarakat etnis berkisar pada masalah hubungan
seseorang dengan sesama dan dengan kosmis. Dalam kaitan ini, ditemukan paling
kurang lima orientasi nilai yang merupakan landasan moral etis masyarakat
tersebut, yakni : Sikap seseorang
terhadap sesama; Apa (kewajiban) yang hendaknya dilakukan seseorang terhadap
sesamanya? ; Wawasan dan kesadaran akan kebersamaan (solidarity); Pewujudan nilai kebersamaan dalam kerja; Konsep
kehidupan politik.[5] Dengan kerangka ini dapatlah disistematisasikan lima orientasi nilai
budaya Minahasa[6] atau lima nilai moral dasar yang berhubungan dengan kehidupan orang
Minahasa yang menunjukan tentang adat.
1. Sikap terhadap sesama (social behaviour)
Memahami
orientasi nilai yang berkaitan dengan sikap seseorang terhadap sesama dalam
konteks masyarakat Minahasa, dapat kita temukan lewat ungkapan-ungkapan,
misalnya : masigi-sigian (saling
menghormati). Masigi-sigian selalu
disingkronisasikan dengan maupus-upusan
(mengasihi satu dengan yang lain) dan maleos-leosan
(jujur terhadap yang lain atau menjadi pemimpin yang baik/benar terhadap orang
lain). Ungkapan-ungkapan ini semestinya tidak hanya dipahami dalam kerangka
“luaran” yang harafiah, melainkan dalam kerangka orientasi nilai yang hendak
menjelaskan wawasan dan sikap budaya serta religius orang Minahasa yang
berkaitan dengan hubungan antar sesama manusia.
Dalam masyarakat Minahasa, penerimaan dan penghormatan adalah nilai yang
dipikirkan dalam kerangka kerja dari masigian.
Kerangka kerja dari seseorang dalam hubungan “muka dengan muka” dengan
masyarakat yang lain. Masigi-sigian,
maupus-upusan dan maleos-leosan
harus dimengerti dalam kerangka kerja dari perkumpulan yang bersifat total.
Dalam pandangan ini, keberadaan manusia atau realitas selalu dilihat dalam
hubungan dengan perintah yang suci dan perintah kosmis. Sebagai penerimaan
terhadap sesuatu yang kudus, manusia juga harus menerima “orang lain”. Dengan
kata lain, menghormati dan mengasihi sesama manusia adalah juga merupakan sikap hormat terhadap yang ilahi
atau Tuhan (biasa disapa dengan sebutan-sebuatan, antara lain: Opo Kasuruan Wangko, Opo Wananatas, Opo
Wailan, dst).
Dalam persekutuan total orang Minahasa, tetangga atau anggota manusia
dilihat dalam hubungan dengan yang sakral yang disebut Opo Wailan Wangko. Penerimaan mereka terhadap Opo Wailan Wangko juga direfleksikan ke dalam tindakan atau prilaku
sosial mereka. Masigi-sigian juga
dipikirkan dalam kerangka kerja dari sebuah hubungan yang kebetulan, yang
merupakan elemen dasar dari kepercayaan religius. Kepercayaan orang Minahasa
bahwa jika prilaku seseorang baik (leos),
dikarenakan penerimaan dari sebuah berkat yang baik. Maksudnya, jika prilaku
seseorang itu benar, hal itu karena ia tidak menerima sebuah hukuman moral (katula). Jika kesakitan atau kecelakaan
menimpa seseorang, maka diyakini bahwa dia telah melakukan tindakan yang
“immoral” atau “ireligius” kepada orang lain.
2.
Kewajiban moral terhadap sesama (Obligation
to serve)
Pada orientasi
nilai yang kedua ini kita dapat menemukan adanya kesadaran akan kewajiban moral
untuk melayani sesama manusia dalam masyarakat Minahasa. Hal ini terungkap
misalnya, lewat apa yang dalam masyarakat Tountemboan (salah satu sub etnis
yang ada di Minahasa) disebut Masaali.
Memang istilah ini pertama-tama menjelaskan suatu sikap dan tingkah laku
anak-anak terhadap orang tua, yaitu suatu kewajiban anak-anak untuk merawat
orang tua disaat lanjut usia. Dengan kata lain, kewajiban ini mengungkapkan
pelayanan anak-anak terhadap orang tua yang membutuhkan pelayanan anak-anak.
Jadi, apa yang terdapat pada kelompok-kelompok etnis atau bangsa yang lain
tentang obligasi untuk melayani orang tua, terdapat pula pada orang Minahasa.
Dalam analisis sosio-kultural, kewajiban pelayanan seperti ini merupakan juga
ungkapan mengenai kesadaran etis-religius orang akan penghormatan terhadap yang
ilahi (Tuhan). Kata lain, penghormatan yang diberikan kepada Tuhan, diungkapkan
pula lewat kehidupan moral-praktis, yakni melayani sesama manusia. Jadi,
dapatlah dikatakan bahwa masali adalah
respons terhadap hubungan “muka dengan muka”. Hal ini merupakan respons atas
pertanyaan “apa yang harus saya lakukan terhadap sesama ?” Konkritnya, ini
merupakan sebuah respons atas pertanyaan “apa tanggungjawab moral saya terhadap
orang lain ?”, “apa yang harus saya lakukan dalam komunitas ?” Tanggungjawab
moral diterjemahkan ke dalam pelayanan konkrit terhadap tetangga atau sesama
yang membutuhkan pertolongan. Jadi, praktek pelayanan seperti yang terlihat
pada masaali mengandung nilai
etis-religius yang berkaitan dengan kesadaran akan kewajiban moral seseorang
terhadap sesama manusia.
3.
Kesadaran akan kebersamaan (Solidarity
and equality)
Nilai-nilai
kebersamaan ternyata sangat penting dalam kebudayaan Minahasa, bahkan menjadi
tolak ukur bagi kehidupan sosial. Hal ini sangat nyata terlihat lewat
peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi di sekitar kehidupan komunitas Minahasa,
misalnya: kedukaan, pesta kawin, dst. Dalam peristiwa ini, masyarakat membawa “rukup” mereka (biasanya berupa
barang-barang yang menjadi kebutuhan material orang atau keluarga yang berduka,
berpesta, dst ). Pemberian kebutuhan material merupakan
perintah moral dalam pengertian demi persatuan dan harmoni. Orang yang tidak
melakukan hal itu adalah “immoral”. Kepercayaan orang Minahasa bahwa prilaku
immoral bisa menghancurkan hubungan seseorang dengan lingkungan. Biasanya,
sikap acuh tak acuh terhadap praktek marukup
dari anggota masyarakat tertentu akan menciptakan jurang antara dirinya dengan
masyarakat secara umum. Artinya, sikap orang tersebut dengan sendirinya
mengasingkan dirinya dengan masyarakat umum. Hal tersebut merupkan bentuk
hukuman sosial bagi orang tersebut.
Praktek ma-rukup dalam masyarakat
Tountemboan yang juga terdapat pada kelompok etnis manapun di Minahasa, dapat
dikategorikan pada orientasi nilai kebersamaan ini. Semua cara dan upacara
dalam peristiwa-peristiwa yang disebutkan di atas, tidak semata rutinitas,
melainkan mengungkapkan nilai-nilai etis-religius. Persekutuan yang terjadi
dalam peristiwa-peristiwa ini secara sosio-religius adalah ungkapan rasa
kebersamaan dan kesamaan derajat. Kebersaaman dengan sesama manusia dipahami
sebagai bentuk kebersamaan dengan Sang Ilahi.
4. Wawasan tentang kerja (ethos kerja atau work ethic)
Masyarakat asli Minahasa memiliki etos kerja yang dilembagakan lewat
pranata “mapalus”. Pranata ini sering
diasosiasikan dengan praktek gotong royong di Jawa atau di daerah-daerah lain,
yang mengungkapkan semangat dan praktek saling tolong-menolong dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan. Namun, pranata mapalus di Minahasa berakar pada budaya agraris di desa-desa,
karenanya dapat dibedakan dengan gotong royong, walaupun gotong royong menjadi
bagian hakiki dari mapalus.
Perbedaannya ialah, gotong royong berlangsung secara sukarela tanpa terorganisir
ke dalam suatu sistem kerja, sedangkan mapalus merupakan kegotong-royongan yang
telah “diorganisasi” atau “dilembagakan” dalam suatu sistem kerja. Jadi secara
etis sosial dan kultural, mapalus
merupakan institusionalisasi semangat kebersamaan. Ini dapat pula dianggap
sebagai wawasan tentang sistem kerja dan karenanya, dapat dilihat sebagai etos
kerja orang Minahasa.
Menurut Josef Saruan, azas-azas mapalus meliputi: azas kekeluargaan,
musyawarah dan mufakat, azas kerja sama, azas keagamaan serta azas persatuan
dan kesatuan. Kemudian, prinsip-prinsip pengelolaan suatu mapalus, yaitu:
prinsip tolong menolong, prinsip keterbukaan, prinsip disiplin kelompok,
prinsip kebersamaan serta prinsip daya guna dan hasil guna. Etos kerja orang
Minahasa, di samping dalam rangka memenuhi kebutuhan azasi manusia untuk hidup,
tetapi juga dalam rangka melakukan kewajiban kultural-religius.[7] W.A. Roeroe, menegaskan bahwa mapalus merupakan peristiwa agamawi – suatu
bentuk kerja sama dan pergumulan bersama untuk menaklukkan kuasa-kuasa alam –
manusia tidak dapat bertahan tanpa ditopang oleh Opo’ Wailan, Opo’ Empung dan
para leluhur – karena itu suatu Mapalus Messiani merangkumi seluruh masyarakat.[8]
5. Musyawarah mufakat (unanimous concensus)
Dalam orientasi nilai yang terakhir ini, dapat dilihat bagaimana sebenarnya
orang Minahasa menyelesaikan konflik sosial. Konsep dan praktek dari “masuat peleng” atau “paumung” merupakan cara aktual
orang-orang Minahasa untuk membuat kesepakatan dalam konflik dan pluralitas
sosial (Indonesia: Musyawarah dan mufakat). Hal ini diekspresikan dengan jelas
dalam sejarah pertemuan “Watu Pinabetengan” (yang bermacam-macam versi), dimana
semua pihak yang berkonflik bertemu. Dalam pertemuan tersebut tidak ada
seorangpun dari mereka yang dilarang masuk dan ditaklukan. Setiap pihak
diberikan kesempatan untuk mengungkapkan pandangan mereka, mereka membuat
keputusan atau kesepakatan (mufakat). Setiap pihak berpartisipasi dalam proses
pembuatan keputusan. Mereka membuat kesepakatan: Esa, esa kita peleng, esa wia se Opo-opo Lumimuut wo si Toar (Kita semua
menjadi satu dan harmonis, disatukan oleh Opo dari Lumimuut dan Toar). Kriteria
mereka bukanlah antara benar dan salah, tetapi kesadaran untuk menjadi “anak
Allah, Opo”. Kriteria mereka adalah
pengenalan terhadap solidaritas dan harmoni. Konflik merupakan ketidakhadiran
dari esa (kesatuan) dan harmoni. Kesadaran ini membuat mereka sanggup untuk
mengemukakan pandangan-pandangan mereka, untuk berbicara satu dengan yang lain,
dan untuk saling menerima satu dengan yang lain. Lebih dari pada itu, hal ini
membuat orang-orang Minahasa sanggup untuk tidak menaklukkan yang lain atau
untuk menjadi eksklusif, melainkan bisa beradaptasi. Orang Minahasa
mengadaptasikan diri sendiri atau bisa mengadaptasikan diri sendiri dengan pandangan-pandangan orang lain. Dalam sikap
ini, keberadaan dari pihak-pihak yang berbeda tidak menghasilkan sebuah konflik
melainkan saling melengkapi. Masuat
peleng atau paumung merupakan
cara berpikir inklusif yang membuka toleransi, dialog, pluralis dan perubahan
ke arah yang lebih baik.
Bagi Tou Minahasa, kesepakatan bersama yang telah diambil dalam sebuah
musyawarah merupakan sebuah sumpah adat. Sumpah adat itu biasanya dilaksanakan
dengan makan dan minum bersama, dalam arti bahwa isinya menjadi darah daging,
sehingga melanggar janji akan merongrong jasad mereka.[9] Tradisi inilah yang membuat hingga hari ini, setiap kali beberapa orang
berkumpul dan membicarakan tentang hal tertentu, biasanya akan diakhiri dengan
makan dan minum bersama, walaupun kenyataanya maknanya telah banyak bergeser.
Kelima orientasi nilai yang merupakan moral dasar Tou Minahasa ini jelas menggambarkan tentang bagaimana hubungan
yang baik antara sesama manusia itu merupakan hal yang sangat penting, sebagai
nilai-nilai etis-religius. Sebab hubungan yang baik dengan sesama manusia
merupakan wujud usaha dari si manusia untuk menciptakan hubungan yang baik
dengan Empung Wailan Wangko. Karena itu, menghormati sesama, melayani sesama,
menolong sesama, bermapalus dan bermufakat bersama, dipahami serta dihayati
sebagi bentuk penghormatan, pelayanan dan sikap hormat terhadap Sang Ilahi.
Melihat lima orientasi nilai budaya Minahasa ini, maka kita dapat
menyimpulkan bahwa, idealnya tou
Minahasa adalah orang-orang yang berpikir, bersikap serta bertingkah laku sesuai
dengan nilai-nilai moral dasar tou
Minahasa tersebut. Tetapi pertanyaanya, dalam perjalanan masa hingga saat ini,
adakah nilai-nilai moral tersebut masih nampak dari tou Minahasa ?
Kalau mau berefleksi dari lima orientasi nilai budaya Minahasa ini dalam
hubungan dengan sikap dan prilaku tou Minahasa saat ini, sepertinya kita boleh
katakan bahwa masigi-sigian,
maupus-upusan dan maleos-leosan
telah berubah menjadi sikap yang cuek aja
tidak peduli dan suka berdusta atau membalikkan fakta. Orang-orang tidak
suka lagi melayani sesama dan kalaupun ia melayani itu bukan karena
ketulusannya melainkan karena suatu kepentingan tertentu. Marukup mulai dilupakan dan kalaupun ada itu dilakukan bukan karena
kesadaran akan kebersamaan tetapi demi gengsi dan harapan ada imbalan. Mapalus yang adalah etos kerja tou Minahasa mulai ditinggalkan. Dan bagaimana cara
tou Minahasa menyelesaikan persoalan
saat ini ? Masuaat Peleng atau paumung yang di dalamnya ada kebebasan
mengemukakan pandangan, ada rasa solidaritas dan kesadaran untuk menciptakan
kesatuan dan harmoni, kini telah berubah menjadi tidak menghormati, tidak
menghargai pendapat dan pandangan orang lain, tidak mengutamakan musyawarah,
bahkan lebih parah adalah sikap “baku
cungkel”, memecah belah dan menghancurkan kebersamaan yang telah ada.
Kenyataan ini memang bukan tanpa sebab, menurut E.K.M. Masinambow perubahan
ini terjadi jelas karena pengaruh peradaban barat.[10] Lebih lanjut Veldy Umbas menjelaskan bahwa perubahan sikap dan prilaku tou
Minahasa saat ini terjadi setelah melewati beberapa tahap mulai dari Periode
pra sumerar, periode ikrar Pinabetengan, periode kolonisasi, periode integrasi
nusantara hingga periode perang saudara di zaman PRRI/Permesta. Dan menurut
Umbas, dalam perjalanan tou Minahasa
selanjutnya, hingga saat ini, tou
Minahasa terus berubah apalagi ketika mereka berhadapan dengan makin
berkuasanya kapitalisme global dengan penguasaan informasi global yang kemudian menggiring prilaku sosial tou Minahasa ke arah materialistis
kapitalisme dengan spirit hedonisme yang kental.[11]
Nuwu’ I Tu’a sesungguhnya bukan hanya sekedar warisan biasa, kata-kata dan tingkah laku
para leluhur yang bisa dilakukan dan bisa juga tidak, tetapi lebih dari pada itu sebagai sebuah
amanat yang harus dilaksanakan. Tou Minahasa meyakini bahwa jika amanat itu
tidak dilaksanakan, malapetaka akan menimpa seluruh keturunan Lumimuut-Toar.[12] Nuwu’ I Tu’a adalah pedoman hidup bagi tou Minahasa yang
sudah diwariskan sejak masa Lumimuut-Toar (leluhur pertama orang Minahasa).
Menurut masyarakat Minahasa, sebelum Lumimuut dan Toar meninggal, mereka telah
memberikan wejangan yang kemudian menjadi aturan hidup orang Malesung (sebutan
untuk tanah Minahasa di zaman dahulu). Aturan hidup itu diberi nama “Tiwa’
Toar-Lumimuut”. Tiwa’ (yang sudah digariskan) itu adalah: Sitou peleng masuat (manusia semua sama/sederajat), maleos-leosan (saling berlaku baik), masigi-sigian (saling menghormati), masawa-sawangan (saling menopang), Maupu-upusan (saling
menyayangi/mengasihi), Maesa-esaan
(saling menyatu/bersatu). Keturunannya kemudian bersumpah untuk menjalankan
amanat tersebut.[13] Sejak saat itu, amanat ini dijiwai dan dilaksanakan keturunan
Lumimuut-Toar dengan penuh kesungguhan hati sebagai pedoman hidup. Dalam
perjalanan waktu selanjutnya, aturan ini menjadi sangat tegas sehingga yang
mengabaikannya bukan cuma dianggap akan mendapat malapetaka, tetapi tidak akan
dianggap lagi sebagai bagian dari anak keturunan Lumimuut-Toar.
Nuwu’
I Tu’a merupakan sikap hidup para leluhur yang diyakini sebagai respons
langsung terhadap kehendak Sang Ilahi atau Empung Wailan Wangko. Hal inilah
yang membuat amanat itu memiliki makna yang dalam bagi Tou Minahasa. Makanya,
sikap mengabaikan untuk melaksanakan dan keengganan untuk mengajarkan kepada
para keturunan selanjutnya, dianggap bentuk pengabaian terhadap Empung Wailan
Wangko.
Nuwu’ I Tu’a jelas sejak dulu tidak diwariskan secara tertulis, hitam di atas putih,
namun hal tersebut tidak mengurangi nilai tanggungjawab yang harus dilakukan
Tou Minahasa. Para leluhur Tou Minahasa pernah berujar bahwa “Nuwu’ I Tu’a hendaknya dijiwai oleh
setiap Tou Minahasa”.[14] Maksudnya, bukan cuma sekedar dipahami tetapi harus diwujudnyatakan dalam
tindakan konkrit.
Nilai-nilai moral budaya yang ideal dari tou Minahasa sangat indah. Jika ia tenggelam, siapakah yang
bertanggung jawab ? Hal yang tidak bisa dipungkiri, setelah melewati sejumlah
tahap dalam sejarah - yang menghantam nilai-nilai lokalitas tou Minahasa - nilai-nilai keminahasaan
itu masih ada. Sebagian nilai masih terpelihara bahkan sebagian masih cukup dominan dalam kehidupan konkrit
sehari-hari. Itu tentu menjadi harapan kita untuk mengangkat kembali nilai-nilai
yang sudah mulai tenggelam dan terus mempertahankan yang masih ada. Nuwu I Tu’a yang telah diamanatkan harus
dijalankan dengan baik akad se tu’us
tumow tow {agar (=tekad) semua anak keturunan (=se Tu’us) menjadi manusia
(=tomow) dan memanusiakan keturunan selanjutnya (=o tumow tow)}. Semua itu dilakukan
demi satu tujuan dan harapan, Ma-esa-esa-an
wo Maleos-leosan (Menjadi satu, harmonis dan baik satu dengan yang lain).
Membahas topik tentang nilai-nilai budaya Minahasa jelas dimaksudkan dalam
rangka mengangkat dan menumbuhkan kembali nilai-nilai luhur Tou Minahasa untuk
dijadikan kerangka kehidupan masyarakat, dan khususnya masyarakat minahasa
ketika menghadapi arus globalisasi yang menisbihkan identitas dan jati diri
lokal. Nuwu’ I T’ua adalah etika asli
Tou Minahasa. Dari uraian di atas, jelas tergambar betapi nilai-nilai budaya
Tou Minahasa itu sangat teologis dan karena itu tidak bertentangan dengan
nilai-nilai positif manapun. Karena itu, upaya untuk memahami dan mengkaji
nilai-nilai moral tou Minahasa yang dituangkan dalam beberapa pokok pikiran
ini, kiranya dapat memberi sumbangan bagi usaha berteologi (konteksual)
khususnya di Minahasa.
Datar Pustaka
Masinambow, E.K.M. et. al., (Edit.) Si Tou Tomou Tumou Tou. Jakarta. : KKK Jakarta, 1991
Moningka, J. Ch., Adat
dan Kekristenan di Minahasa. Tomohon : Percetakan “Eben Heazer”, 2001
Palar, H.B., Wajah Baru Minahasa, Jakarta: Yayasan
Gibon Indonesia, 2009
--------------,
Wajah Lama Minahasa, Jakarta: Yayasan
Gibon Indonesia, 2009
Roeroe, W.A., I
Yayat U Santi: Kumpulan pokok-pokok
pikiran-renungan Jilid III, Tomohon: UKIT Press & LETAK, 2003
Saruan, J.M.,
Masa Awal Pertumbuhan Gereja. Tomohon
: 1999
Siwu, R.A.D., Kebenaran
memerdekakan: Etika Bermasyarakat, Berbudaya, dan Beragama era Globalisasi.
Tomoho. Lembaga Telaah Agama dan
Kebudayaan (LETAK), 2000
Supit, Bert,
Minahasa: Dari amanat Watu Pinawetengan sampai gelora Minawanua, Jakarta:
Sinar Harapan, 1986
Tulaar, D.H. (ed), “Opoisme”
: Teologi orang Minahasa. Tomohon : Lembaga Telaah Agama dan Kebudayaan
(LETAK), 1993
Referensi
Umbas, V.R., Menata
Budaya Sebagai Modal Sosial Masa Depan Minahasa (Makalah yang disampaikan pada
Kongres Adat Minahasa, …..)
Waleta
Minahasa Edisi IV tahun 2007
Kamus & Ensiklopedia
Shadily,
Hasan, Ensiklopedi Indonesia I,
Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1980
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1989
[1] R.A.D. Siwu, Kebenaran
memerdekakan: Etika Bermasyarakat, Berbudaya, dan Beragama era Globalisasi (Tomohon, Lembaga Telaah Agama dan Kebudayaan (LETAK), 2000), hlm. 150
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989)
[3] Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia I
(Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1980), hlm. 76-77
[4] R.A.D. Siwu, “Opoism Of The Minahasans Can Be Used As A Framework For
Doing Theology”, dalam D.H. Tulaar
(ed.), “Opoisme” : Teologi orang
Minahasa, (Tomohon : Lembaga Telaah Agama dan Kebudayaan (LETAK), 1993),
hlm. 25
[5] Siwu, Op.Cit., hlm. 151
[7] J.M. Saruan, Masa Awal
Pertumbuhan Gereja (Tomohon : Ardijan Printing, 1999), hlm. 13-14
[8] W.A.
Roeroe, I Yayat U Santi: Kumpulan
pokok-pokok pikiran-renungan Jilid III (Tomohon: UKIT Press & LETAK,
2003), hlm. 36
[10] E.K.M. Masinambow, et. al., (Edit.) Si Tou Tomou Tumou Tou (Jakarta. : KKK
Jakarta, 1991), hlm. 23
[11] V.R. Umbas, Menata Budaya Sebagai Modal Sosial Masa Depan Minahasa (Makalah
yang disampaikan pada Kongres Adat Minahasa, …..)
[12] Bnd. Bert Supit, Minahasa: Dari amanat Watu Pinawetengan sampai gelora Minawanua
(Jakarta: Sinar Harapan, 1986), hlm. 29
[13] Rikson Karundeng, “Tu’ur In Tana’: Wale
ure, titik pangkal peradaban tou Minahasa dan goresan nilai-nilai
Keminahasaan”, dalam Waleta Minahasa
Edisi IV tahun 2007, hlm. 30
[14] Bnd. H.B.Palar, Wajah Lama Minahasa (Jakarta: Yayasan Gibon Indonesia, 2009 ), hlm.
360
0 komentar :
Posting Komentar