Gagasan
Awal*
Kekristenan pada awalnya adalah suatu ‘euforia jiwa’ bagi seluruh insan di
muka bumi ini, sebab di dalamnya mengandung janji kepenuhan tentang suatu ‘corpus christianum’ (kerajaan Kristen
yang ideal di dunia) yang aman, damai dan tenteram. Tidak hanya itu,
kekristenan juga dipandang sebagai satu-satunya ‘idealisme mutlak’ yang dapat menyelamatkan manusia pada akhir
hayatnya, yakni ketika menghadapi kematian di ‘alam baka’ nantinya. Konsep yang kemudian dikenal dengan istilah
‘hangat’ masa kini, salvation
(keselamatan).
Lebih kurang 2000 tahun, kekristenan
mengkristal dalam lembaga keagamaan yang namanya Gereja. Ternyata, untuk
mencapai apa yang namanya keselamatan kekal, manusia harus berjuang dan
berhadapan dengan konflik, baik yang muncul di sekitar lingkungan terdekatnya,
maupun yang bergelora dalam batinnya.
Tidak hanya manusia yang fana saja, bahkan Yesus Kristus sendiri pun sebagai
Anak Allah yang hidup, mendapat tantangan serius dari konflik yang terbentuk
dalam komunitas Yahudi, ketika Ia mengabarkan kabar keselamatan bagi dunia ini.
Lalu, konflik apa yang dihadapi oleh Yesus? Bagaimana Ia menghadapinya?
Demikianlah, tokoh Musa dalam catatan sejarah Alkitab, Luther dan Calvin dalam
catatan sejarah Gereja turut bergumul dengan kenyataan konflik yang sama.
1. Musa Dalam Konflik menurut
Perjanjian Lama
Tuhan Allah tidak pernah menciptakan konflik, apalagi
menghendakinya. Namun di sisi lain juga, Tuhan Allah
memakai konflik dalam bentuk perbedaan dan pertikaian untuk menegur dan melerai
umat-Nya yang terlibat konflik. Apupun maksud Tuhan Allah tersebut, konflik
pasti muncul dengan tujuan yang jelas.
Menurut Jack Stotts
yang dikutip oleh Halverstadt (ahli manajemen konflik Gereja) dalam
bukunya berpendapat, bahwa proses etis yang berjalan pada alur konflik
senantiasa berada dalam syalom Allah, yaitu perdamaian-Nya yang didasarkan pada
perwujudan kasih, keadilan, penebusan, pembebasan, kebenaran dan belas kasih
Allah. Artinya, sejalan
dengan itu Tuhan Allah senantiasa bertindak
dengan tujuan
menghadirkan damai sejahtera di muka bumi serta seluruh ciptaan. Tindakan
Tuhan Allah ini merupakan
pencitraan diri-Nya yang agung selaku Pencipta. Masa lampau dan kekinian telah menyaksikan
Tuhan Allah yang dinamis
menurut berita Perjanjian Lama.1
Dalam perjalanan bangsa Israel menuju tempat yang dijanjikan-Nya, tangan Allah yang perkasa selalu memberi kekuatan
yang luar biasa. Umat pilihan Allah ini percaya akan kehadiran Allah yang turut serta dan
benar-benar hidup bersama mereka. Allah bergerak dengan caranya. Alam semesta
adalah media dan langit ialah tempat Sang Khalik berkarya. Ketika peristiwa
eksodus dari Mesir, penyataan kehadiran Allah adalah berupa tiang awan di waktu
siang dan tiang api di waktu malam. Ini merupakan metode ilahi untuk menyatakan kekuasaan-Nya selaku pencipta.
Umat Israel pun
bersukacita karena Allah yang bergerak, yang hidup turut menggerakkan semangat
hidup mereka. Allah dengan kedinamisan-Nya, menghendaki umat Israel terlepas dari situasi perbudakan
di Mesir Peristiwa eksodus ini dikenang sebagai
sebuah momentum yang menyatukan Israel menjadi bangsa (nation). Tulisan-tulisan para nabi dan pemazmur pada masa
sesudahnya banyak menceritakan tentang peristiwa itu dan memuji-muji Allah atas
apa yang telah dilakukan-Nya.
Menurut H.
Rosin (ahli Perjanjian Lama),
bahwa tentang kesengsaraan bangsa Israel dan maksud penyelamatan Allah
didasarkan pada janji keselamatan Tuhan Allah bagi seluruh bangsa di dunia ini.
Ungkap Rosin, “Sekarang Allah melihat. Ia memandang orang-orang Israel
itu. Ia menilik kesengsaraan mereka (bandingkan Mazmur 31:8). Dan bilamana Allah melihat, maka manusia itu sudah
tertolong (bandingkan Kejadian 16:13). Allah yang melihat itu memandang penting apa
yang dilihat-Nya. Ia memperhatikan keadaan orang Israel itu. Ia mengetahui ketidakadilan
yang dialami umat-Nya dalam perbudakan di Mesir itu.”2
Mengenai peristiwa eksodus bangsa Israel
dari tanah Mesir, Chistoph Barth (ahli Perjajian
Lama) menegaskan, bahwa “Keluar dari Mesir” tidaklah melulu berarti
“meninggalkan tanah Mesir”, lalu pindah ke lain negeri. Penamaan Mesir sebagai
“rumah perbudakan” sudah menjadi petunjuk ke arah yang kita maksudkan : “pindah
negeri” tadi barulah mendapat arti “pindah suasana” dan “pindah keadaan.” Allah
tidak hanya memindahkan umat-Nya dari negeri yang satu ke negeri yang lain,
tetapi sambil berbuat demikian, dipindahkan-Nya mereka dari keadaan perbudakan
ke keadaan kemerdekaan. Sejumlah kata kerja lainnya menyatakan segi
perbuatan-Nya ini dengan sejelas-jelasnya : “mengeluarkan” dan “mengangkat”
adalah sama artinya dengan “meluputkan”, “menyelamatkan”, “melepaskan”,
“membebaskan”, bahkan “menebus” dari tanah Mesir, yakni dari negeri yang
disamakan dengan suatu “rumah” di mana umat Israel menderita dengan segala rupa
“penindasan” dan “perbudakan”.3
Sebelumnya,
tindakan Tuhan Allah dengan mengutus Musa terlebih dulu, adalah cara
Tuhan Allah untuk mengubah
konsep perbudakan menjadi Teologi Pembebasan di dalam konteks
atau wilayah Tanah Mesir. Musa adalah tokoh yang dipilih oleh Allah sebagai
pembebas umat kesayangan-Nya. Tentang pengutusan Musa, Wright Christopher (ahli Etika Perjanjian Lama) berasumsi, bahwa Allah
tidak mengutus Musa ke Mesir dengan hukum yang akan disampaikan kepada Israel dalam perbudakannya, “Inilah
hukuman Allah. Kalau mulai dari sekarang kamu memelihara dengan sepenuhnya,
maka Allah akan melepaskan kamu dari perbudakan ini.” Kepada Israel tidak
dikatakan bahwa mereka dapat memperoleh atau mempercepat pembebasan mereka
dengan memelihara hukum Allah. Tidak, Allah yang bertindak terlebih dahulu. Ia menyelamatkan
mereka dan kemudian membuat perjanjian dengan mereka, yang mencakup hukum itu
sebagai ungkapan rasa syukur dan kesetiaan kepada Allah yang menyelamatkan.4
Di sinilah proses
pembebasan itu mengalami benturan dengan konflik. Musa harus berhadapan dengan Firaun
yang keras kepala dan
bala tentara Mesir. Tidak hanya itu juga, Musa harus
tampil dengan berani untuk meyakinkan bangsa Israel tentang rencana
penyelamatan Tuhan Allah terhadap mereka. Konflik batin pertama yang dihadapi
oleh Musa dan Harun, yaitu tantangan untuk mereformasi atau mengubah pola pikir
bangsa Israel tentang suatu tanah atau tempat yang lebih menjanjikan
dibandingkan di Mesir, yaitu Tanah Kanaan (bandingkan Keluaran 5:1-24 &
6:1-12).
Musa dan Harun bergumul dengan konteks
Mesir dan pola pikir bangsa Israel. Usaha pertama ini mendapat respon yang
positif dari bangsanya. Musa dan Harun, berhasil “memisahkan” bangsa Israel
dari pola pikir perbudakan dan pengekangan hak asasi manusia oleh Firaun.
Bangsa Israel akhirnya mau dibebaskan dari konsep dan konteks berpikir tentang
“legalnya” perbudakan di Mesir menuju pada pembebasan sepenuhnya sebagai umat
pilihan Allah.
Konflik batin kedua yang harus dilalui oleh
Musa dan Harun, ialah upaya untuk meyakinkan Firaun sang penguasa Mesir. Upaya
ini dimulai dengan himbauan dari Musa dan Harun kepada Firaun untuk membebaskan
bangsa Israel, karena ini merupakan kehendak Tuhan Allah. Tulis Rosin, “Bukan karena kemauan sendiri
melainkan menurut kehendak Tuhan, maka Musa dan Harun sekarang pergi menghadap
takhta Firaun. Dan apa yang mereka katakan adalah perintah Tuhan. Dengan
perantaraan mereka berkatalah Tuhan, Allah Israel. Ia tidak meminta, Ia
menuntut. Ia tidak memohon, Ia memerintah.”5
Pada konflik ini, Musa berhadapan dengan
konteks pola pikir dan kewilayahan Mesir. Harun yang fasih berbicara adalah
sarana yang paling ampuh untuk mencuci otak
Firaun, walaupun tidak semua keinginan mereka dipenuhi oleh Firaun. Harun
adalah media untuk memisahkan pola pikir kolot dari konteks Mesir yang di
dalamnya tertuang konsep perbudakan Firaun. Musa sendiri mengandalkan kuasa
Tuhan lewat kesepuluh tulah yang dikehendaki Allah menjadi peringatan serius bagi
Firaun (bandingkan Keluaran 7:14-11:9).
Melalui pelaksanaan kesepuluh tulah, Musa
menghadapi konteks kewilayahan Mesir, karena jelas memaksa secara politis bagi
Firaun untuk menanggalkan sikap keras kepala. Tulah menjadi sarana bagi Musa
untuk mereformasi pola pemikiran Firaun. Musa akhirnya berhasil memisahkan
bangsa Israel dari konteks lama, yaitu Tanah Mesir dan konsep lama, yakni
perbudakan dan selanjutnya memimpin bangsa Israel untuk menyatu dengan konteks
baru, yakni Tanah Kanaan dan konsep baru, yaitu keselamatan yang berasal dari
Tuhan Allah.
Perjalanan umat Israel sebagai umat
kesayangan Allah tidak berhenti sampai pada peristiwa eksodus. Pasca eksodus,
umat Israel diperhadapkan dengan tantangan hidup yang baru, yakni bertahan dan
membangun komunitas hidup di tengah-tengah padang gurun. Kembara mereka teruji
ketika Tuhan menyatakan mukjizat-Nya di Mara dan di Elim. Suasana dahaga dan
lapar membuat bangsa Israel bersungut-sungut, seakan-akan tidak percaya lagi
akan tuntunan Tuhan Allah. Mereka pun juga dipuaskan dengan berkat roti dari
sorga yang disebut Manna (Keluaran 16). Tidak hanya itu juga, di Masa dan di
Meriba ketika semua bangsa berteriak meminta air, kembali Tuhan Allah melalui
Musa melakukan perkara ajaib dengan memukul gunung batu Horeb, sehingga
keluarlah air dari tempat tersebut. Inilah penyertaaan Tuhan Allah yang tidak
pernah terlambat mengisi kekosongan hidup umat pilihan-Nya (Keluaran 17).
Musa dan Harun membangun banyak aspek
kehidupan bangsa Israel sesuai dengan titah dari Tuhan Allah. Mulai dari
peraturan tentang hidup sehari-hari, tingkah laku bermasyarakat, norma
kekudusan dan aturan tentang persembahan disampaikan oleh Musa dan Harun agar
dapat dijalankan oleh umat Israel sebagai standar utama menjalani kehidupan.
Musa juga menyadari bahwa tugas dan tanggung jawabnya begitu besar dan
kompleks, oleh sebab itu ia mengangkat para hakim dan pemimpin umat dari
bagian-bagian puak Israel, sehingga tanggung jawabnya dapat terbagi dengan
merata dan dapat dirasakan oleh semua umat.
Tidak dapat disangkal bahwa kompleksitas
kehidupan bangsa Israel yang dinakhodai oleh Musa dan Harun akhirnya
berbenturan juga dengan banyak masalah. Masalah yang muncul banyak dari
ketidakpuasan umat tentang sandang, pangan atau papan yang mereka pandang sebagai
kesejahteraan yang harus layak didapatkan. Tetapi pula, ada masalah yang
bernada konflik antar para pemimpin umat. Masalah ini timbul disebabkan adanya
faktor iri hati atau merasa dianggap enteng oleh pemimpin yang lain. Masalah
ini yang justru cukup membuat Musa dan Harun berhati-hati dalam bertindak dan
memutuskan sebuah jalan keluar. Mereka menyadari bahwa jika solusi yang dipilih
tidak tepat, maka pasti orang-orang yang bermasalah itu akan tidak sejalan lagi
dengan misi mulia dari Musa dan Harun.
Masalah kepemimpinan yang dihadapi oleh
Musa dan Harun, dapat dikatakan sangat serius ketika mereka berhadapan dengan
pemberontakan dari Korah, Datan dan Abiram (Bilangan 16). Ketiga orang ini
tergolong para pemimpin umat yang memiliki prestise tersendiri bagi bangsa
Israel. Menurut kitab Bilangan 16 : 2, “...semuanya orang-orang kenamaan”.
Motif pemberontakan dari ketiga tokoh umat Israel ini adalah perasaan iri hati
terhadap kepemimpinan Musa dan Harun. Mereka tidak dapat menerima kenyataan
bahwa hanya Musa yang layak bertemu dan berbicara langsung dengan Tuhan Allah
Israel.
Motif ini dipakai oleh Korah untuk
menghasut dua ratus orang Israel dan para pemimpin lainnya agar bersama
melakukan pemberontakan terhadap Musa. Sedangkan motif yang digunakan oleh Datan
dan Abiram adalah pernyataan sikap tidak puas dengan janji Tuhan Allah lewat
Musa dan Harun tentang kesejahteraan hidup mereka. Menurut mereka, Musa dan
Harun telah mengelabui umat Israel, bahwa mereka akan dibawa ke suatu tempat
yang lebih baik dari Tanah Mesir. Bagi Datan dan Abiram, suatu kondisi negeri
di mana terdapat berlimpah-limpah susu, madu, ladang-ladang dan kebun anggur
tidak dapat dipenuhi oleh Musa dan Harun.
Strategi yang digunakan oleh Musa dan
Harun, yaitu melakukan pendekatan personal terhadap Korah, Datan dan Abiram.
Penjelasan tentang maksud Tuhan Allah dan rencana agung-Nya bagi umat Israel
adalah hal yang mungkin belum dipahami jelas oleh mereka. Akan tetapi, maksud
baik dari Musa dan Harun ditolak mereka. Ketiganya bersikeras menolak Musa dan
Harun sebagai pemimpin Israel. Dengan demikian, ketiganya telah menciptakan
konflik internal di dalam tubuh umat Israel.
Mengatasi konflik ini, Musa meminta
petunjuk dari Tuhan Allah. Musa menyadari bahwa segala daya upaya atau usaha
pendekatan yang dilakukannya tidak berhasil, sehingga jalan keluar atau solusi
terbaik hanya lewat keputusan ilahi. Keputusan yang sungguh-sungguh berada di
atas keadilan dan tidak dapat dibantah oleh pihak manapun. Konflik yang
akhirnya diputuskan melalui persidangan Tuhan Allah sendiri.
Akhir dari pemberontakan Korah, Datan dan
Abiram ialah kebinasaaan hidup mereka. Peristiwa bumi dan tanah terbelah
menyebabkan mereka tertelan hidup-hidup ke dunia orang mati, sungguh suatu
kejadian tragis yang patut disesalkan (Bilangan 16:30-35). Peristiwa ini
akhirnya menyelesaikan konflik dan memberi jawaban bagi bangsa Israel siapa
sebenarnya yang kudus dan berkenan dalam pemandangan Tuhan Allah. Konflik yang
dihadapi oleh Musa dan Harun adalah suatu riak dalam menjalankan proses
kepemimpinan. Konflik yang sesungguhnya lahir dari suatu kondisi batin dan
psikologis yang tidak mau menaruh kepercayaan terhadap kapasitas kepemimpinan
dari Musa dan Harun. Konflik yang hadir oleh pertimbangan dan analisa yang
keliru tentang kebenaran dan kekudusan Tuhan Allah.
Kesangsian akan yang Maha Kudus membuat
Korah, Datan dan Abiram tenggelam dalam nafsu pemberontakan. Suatu pertimbangan
dan kesimpulan yang salah, sehingga mereka akhirnya terpisah dari konsep
penyelamatan Tuhan Allah. Konsep pemberontakan dari ketiganya, menggagalkan dan
merusak hubungan intim mereka dengan Tuhan Allah sebagai Bapa leluhur nenek
moyang mereka sejak dahulu kala. Mereka berpisah dengan konsep keselamatan dari
Tuhan Allah dan bersatu dengan ketidakpastian idealisme dalam pemberontakan.
Suatu pilihan hidup yang membawa pada kebinasaan. Suatu konflik yang harus
berakhir tragis dan menyakitkan bagi keluarga Korah, Datan dan Abiram.
2. Yesus Kristus Dalam
Konflik menurut Perjanjian Baru
Konflik di dunia perjanjian baru adalah
suatu cerita sejarah yang mengambil banyak tempat dalam kehidupan umat percaya
di zaman sekarang ini. Tokoh Perjanjian Baru yang dikenal dan dijadikan, yaitu
Yesus Kristus Sang Juruselamat adalah sosok pribadi yang diakui sebagai Anak
Allah yang hidup dan yang membawa damai ke dalam bumi. Tetapi juga, tokoh Yesus
dipandang telah membawa konflik tersendiri bagi komunitas kekristenan awal,
yaitu oleh kaum Yahudi. Kesaksian
berita Perjanjian Baru telah mengundang banyak tanggapan kritis mengenai kehadiran
Yesus Kristus dalam komunitas bangsa Yahudi. Adat dan tradisi Yahudi
kerap kali berbenturan
dengan jati diri Yesus yang penuh kehendak mulia untuk memberitakan makna
kebenaran yang sesungguhnya tentang Kerajaan Allah.
Berkenaan dengan ketokohan Yesus, Albert Nolan (ahli Perjanjian Baru) berpendapat : “Peristiwa yang paling pasti mengenai Yesus dari Nazareth ialah
bahwa Ia diadili, dihukum mati karena dianggap melakukan pengkhianatan dan
hukuman itu dilaksanakan oleh prokurator Romawi bernama Pontius Pilatus. Ini tidak membuatnya istimewa.
Beribu-ribu orang Yahudi revolusioner dan pemberontak dihukum salib oleh
penguasa Romawi di Palestina pada zaman ini. Pada umumnya orang-orang Yahudi
menentang
pemerintahan Romawi, dan sebagaimana sudah kita lihat, sebagian dari mereka
sangat bernafsu untuk menggulingkan pemerintah Roma dan menegakkan kembali
kerajaan Israel. Yesus dianggap bersalah karena terlibat dalam komplotan seperti itu. Lebih lagi Ia menyatakan
diri sebagai raja orang-orang Yahudi, pewaris takhta, atau yang oleh
orang-orang Yahudi disebut Mesias.”6
Seruan
pertobatan dan kuasa mujizat Yesus dipandang sebagai praktek melawan arus
kemapanan rohani dari para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Yesus yang
melawan arus telah menyatakan konsep diri yang dinamis. Kedinamisan-Nya tampak pada saat Ia berusaha merombak
budaya dan tradisi yang telah mengakar kuat, misalnya tentang stratafikasi
masyarakat Yahudi. Orang-orang yang dikucilkan, yaitu para pemungut cukai
menjadi obyek pelayanan Yesus dalam komunitas kekristenan pada waktu itu
(bandingkan Lukas 18:9-14).7
Mungkin inilah keluhan yang paling serius
dari para ahli Taurat dan orang Farisi, yakni sikap hidup-Nya untuk bergaul
dengan para pemungut cukai. Mereka dianggap hina oleh orang Yahudi yang patriotik
karena dianggap bekerja sama dengan penjajah, ditolak oleh kaum religius
ortodoks karena bergaul dengan orang bukan Yahudi dan dibenci oleh khalayak
ramai oleh karena pembayaran yang berlebihan yang mereka tuntut.8
Bagi Yesus, orang-orang yang ditolak oleh masyarakat itu membutuhkan
pengampunan Allah dan mereka (Para ahli Taurat dan orang Farisi) mengetahui hal
itu. Bagi orang-orang itulah Ia datang. “Orang-orang
yang sehat tidak memerlukan dokter” (bandingkan Markus 2:17). Komunitas masyarakat yang selanjutnya
mendapat perhatian dari Yesus, yaitu orang-orang Samaria karena perasaan iba
yang begitu mendalam. Yesus tampil merombak
tradisi kolot keyahudian yang memandang rendah
komunitas ini. Tradisi kolot ini muncul dari teologi Yahudi yang menyatakan,
bahwa semua orang bukan Yahudi akan masuk neraka, maka kesimpulan yang logis
bagi kaum Yahudi ialah menolak berhubungan dengan bangsa lain lebih daripada
yang diperlukan.9
Bagi Yesus soal ras, tidaklah penting. Manusialah yang penting, manusia
yang membutuhkan pertolongan, manusia yang dapat diajak untuk membuat respons
terhadap Allah. Pemahaman Yesus yang demikian, membuat kaum Yahudi menganggap
Yesus merupakan duri dalam daging kebanggaan nasional Yahudi. Namun yang paling
menyinggung perasaan Yahudi adalah cerita yang begitu dikenal, yakni
perumpamaan tentang orang Samaria yang murah baik hati (Lukas 10:29-37).
Perumpaan ini dijelaskan dan ditegaskan Yesus, bahwa melalui tindakan seorang
Samaria pun dapat menunjukkan dirinya benar-benar sebagai seorang “sesama”.10
Yesus adalah pribadi aktif yang bergerak potensial menciptakan
pembaharuan di dalam kulit konteks yang sama. Hal ini mengandung arti, bahwa konsep dan pemahaman secara total ditransformasi oleh
Yesus, namun tidak mengubah atau berada di luar konteks yang berbeda. Konsep
lama dibaharui dan konteks lama tetap dipakai sebagai sarana pembaharuan.
Misalnya, tentang masyarakat Yahudi yang menilai para pemungut cukai sebagai
musuh agama dan tradisi kolot keyahudian yang memandang hina orang Samaria, ditentang
Yesus dengan sikap reformatif yang berlandaskan Kasih.
Ia tidak berada di luar konteks
kemasyarakatan Yahudi. Akan tetapi, Yesus muncul dan mengadakan pembaharuan
dalam konteks kehidupan orang-orang Yahudi, khususnya orang-orang Farisi dan
ahli-ahli Taurat. Dari tindakan pembaharuan yang Yesus lakukan, terlihat
penekanan segi dinamis, yaitu perubahan gaya dan konteks berpikir masyarakat
Yahudi yang menjadi misi utama Yesus untuk memisahkan diri dengan tradisi yang
telah dibangun. Namun, hakekat untuk tetap menyatu dengan kondisi masyarakat
setempat, tidak diabaikan-Nya. Dengan kata lain, Yesus berpisah dengan tradisi
kolot Yahudi namun tetap bersatu dengan masyarakat Yahudi.
Allah yang
dinamis dan Yesus yang transformatif
ibarat dua sisi pada mata uang logam. Sikap dinamis dan transformatif
merupakan aplikasi dari pernyataan kehendak untuk berpisah dengan konsep lama
menuju konsep baru, tetapi tetap hidup di dalam konteks yang sama. Wujud
keharmonisan atau keselarasan nampak sebagai pemenuhan terhadap konsep baru
yang jelas berbeda dengan konsep lama.
Pada prinsipnya, keselarasan merupakan upaya yang kadangkala harus dicapai
dengan pengorbanan. Jelaslah bahwa dinamis dan selaras tidak berbeda dengan konsep berpisah
untuk bersatu.
Yesus Kristus melalui
seruan pertobatan dan kuasa mukjizat-Nya juga telah memproklamasikan hal yang sama. Mengubah
konsep lama di dalam konteks baru keyahudian adalah proses berpisah namun tetap
menyatu dengan konteks awal. Konflik pun tidak dapat terelakkan. Para ahli Taurat
dan kumpulan orang Farisi memandang Yesus sebagai ancaman serius. Bahaya yang
harus dibasmi dan dilenyapkan dalam stratafikasi masyarakat Yahudi. Faktanya,
integritas Yesus tidak bergeming. Memilih untuk menghadang konflik, Yesus
berarti telah berada dalam posisi menciptakan konsep pembaharuan pada
sirkumstansi yang sama dengan subyek
sejarah yang sama pula.
3. Martin Luther Sang
Pembaharu Gereja
Martin Luther adalah seorang tokoh
pembaharu Gereja yang sampai saat ini dikenang dan dikenal luas oleh banyak
insan di berbagai denominasi Gereja karena kegigihannya sebagai peletak
dasar-dasar baru dari refleksi yang benar tentang kebenaran Kitab Suci. Luther
dilahirkan pada tanggal 10 November 1483 menjelang tengah malam di
Langestrasse. Ayahnya Hans, pada mulanya adalah seorang petani kemudian beralih
mata pencaharian sebagai seorang penambang. Ibunya Margaretha Lindemann adalah
seorang ibu rumah tangga yang setia menopang pekerjaan suaminya. Luther adalah
seorang teolog yang memiliki intelektual dan wawasan yang luas dan terbuka.11
Sebagai seorang sarjana teologi yang
menyandang gelar Doktor dalam bidang Kitab Suci, ia memiliki komitmen tinggi
untuk menyelidiki tulisan-tulisan alkitabiah yang dianggapnya menarik dan
berhubungan dengan kisah hidupnya, misalnya kitab Mazmur, Roma dan I Korintus.
Hasil dari telaah kritisnya dituangkan ke dalam beberapa tulisan dan yang
paling termasyhur ialah tulisan berjudul “Tentang
Kebebasan Seorang Kristen”. Luther pun senatiasa berusaha mengaplikasikan
apa yang diperolehnya dari hasil penelitiannya tentang maksud Allah yang
sesungguhnya dari bagian kitab yang telah diinterpretasinya dan juga hasil dari
tulisannya.12
Bersamaan dengan itu, Luther melakukan
proses studi kemasyarakatan yang sasarannya mencari dan menemukan penyimpangan-penyimpangan
sosial yang terjadi di dalam masyarakat pada waktu itu. Dalam tulisan Luther
tersebut, ia menilai bahwa telah terjadi pembodohan terhadap nilai-nilai
teologis dari para klerus dan uskup terhadap masyarakat luas. Masyarakat
dijadikan sapi perah dengan mengeruk keuntungan-keuntungan rohani dari
mereka. Praktek pembodohan itu secara nyata adalah melalui propaganda Indulgensia. Dogma Gereja dipolitisir
sedemikian rupa, sehingga masyarakat yang adalah umat Gereja pada masa itu
menganggap praktek indulgensia adalah murni suatu usaha mulia dari Gereja untuk
keselamatan umatnya. Salah satu kaki tangan Paus dalam memuluskan program
indulgensia tersebut adalah Johann Tetzel. Ucapan Tetzel yang terkenal ialah, “Kalau uang itu berdenting di dalam peti,
melompatlah jiwa itu ke dalam sorga!”.13
Tanggapan Luther atas pembodohan dari
lembaga Gereja tersebut, adalah dengan menerbitkan suatu tulisan yang berisi
beberapa kritikan keras. Salah satu kritikkannya yang memulai era reformasi
Gereja di abad pertengahan, tepatnya pada tanggal 31 Oktober 1517, di mana
Luther sendiri memakukan di pintu Gereja istana Wittenberg, tentang 95 dalil
dalam bahasa latin yang menentang kebijakan Paus tentang surat penghapusan
sikas. Kritikannya bertumpu pada kesaksian Alkitab yang sejalan dengan semboyan
reformasinya, Sola Scriptura.14
Kemapanan Luther yang terekspresi lewat
keberaniannya menentang Indulgensia sebagai salah satu kebijakan Gereja di
zamannya, merupakan suatu tindakan tegas yang lahir dari kajian kritis Alkitabiah
berdasarkan terang Roh Kudus. Luther secara sadar telah mempertimbangkan dan
memperhitungkan akibat terburuk dari sikap tegasnya melawan arus yang dibangun
oleh kekuasaan Gerejawi. “Di dalam
dirinya mengalir sebuah keyakinan, bahwa sampai saat ini, masih hidup dan
memerintah Allah yang sama, yang melindungi Daniel dan kawan-kawan di dapur
perapian Nebukadnezar... Untuk itu semoga Tuhan Yesus Kristus menguatkan aku!”.15
Keyakinan iman ini membawa Luther menjadi
seorang tokoh reformator yang gigih dan tidak takut kehilangan nyawanya.
Semakin ditekan oleh kekuasaan Gereja, semakin motivasi dan inspirasinya
membara tak kunjung padam. Luther pun berjuang tanpa menghiraukan hambatan
ataupun tantangan di sekelilingnya. Subyektivitas Luther terhadap masalah iman
dan Tata Gereja diminimalisir oleh obyektivitasnya terhadap kebenaran
Alkitabiah. Ada perimbangan antara perasaan ‘daging’ yang membawa ketakutan
dengan perasaan ‘rohani’ yang menciptakan kekuatan yang dahsyat dalam diri
Luther.
Modal integritas diri Luther yang begitu
teguh, membuatnya menjadi single fighter dalam memerangi tirani Gereja.
Ia berjuang di dalam konteks yang ekuivalen dengan Gereja Katolik, yakni
konteks geografis benua Eropa abad pertengahan. Luther paham, bahwa di dalam
konteks itu terjadi berbagai ketidakadilan dan penyimpangan sosial yang
mencoreng martabat Gereja terutama nama agung Yesus Kristus, Sang Kepala
Gereja. Oleh sebab itu, Luther bergumul di dalam konteks tersebut. Di sini
menjadi jelas, bahwa Luther berusaha untuk tidak meninggalkan konteks yang
telah dipengaruhi oleh konsep yang salah. Hanya dengan ia tetap berada dalam
konteks itu, maka ia dapat memerangi konsep yang telah menjadi virus dalam
konteks yang dimaksud.
Melaksanakan apa yang diyakini oleh Luther
sebagai perjuangan memerangi tirani Gereja, maka Luther pun mau tidak mau harus
berhadapan dengan konflik batin. Konflik batin yang dimaksud, ialah beberapa
kali ia dirongrong oleh berbagai pihak yang sangat tidak setuju dengan semua
pemikirannya yang (bagi mereka) radikal. Sebagai contoh, rongrongan serius yang
dihadapi oleh Luther adalah ketika Paus Leo X mengeluarkan surat pengucilan
terhadap diri dan tulisannya, sehingga Luther dicap sebagai seorang bidaah.
Akan tetapi, hambatan yang serius ini disikapi Luther dengan tegar. Ia merasa
yakin, bahwa Tuhan Allah tidak akan meninggalkan semua perjuangan yang telah
dirintisnya untuk membangun era reformasi di segala aspek kehidupan
bermasyarakat, terlebih khusus Gereja Tuhan di masa itu.
4. Johannes Calvin Penerus
Gelombang Reformasi Gereja
Calvin adalah penerus gelombang reformasi.
Jiwa dan semangatnya sama dengan yang dimiliki oleh pendahulunya, Luther.
Johanis Calvin, nama sebenarnya Jean Cauvin lahir pada tanggal 10 Juli 1509 di
Noyon, Perancis Utara. Kemudian hari nama Cauvin, sesuai dengan kebiasaan di
kalangan kaum berpendidikan waktu itu, dilatinisasikan menjadi Calvinus.16 Calvin berasal dari keluarga yang
berada. Ayahnya sendiri, Gerard Cauvin berasal dari keturunan biasa-biasa saja,
dari keluarga penambang perahu.17 Ia belajar di Universitas Paris, Orleans
dan Bourges serta menjadi pengagum Erasmus dan Humanisme. Ia sendiri
menghasilkan karya ilmiah Humanisme pada tahun 1532 (suatu uraian mengenai
karya filsuf Romawi Seneca berjudul “Kemurahan
Hati”), yang tidak berhasil membuat dampak yang diharapkannya.18
Keadaan benua Eropa, khususnya wilayah
utara, sedang berada dalam pengaruh demam reformasi yang sangat besar. Aspek
politik, sosial, ekonomi dan religius mengalami perubahan secara mendasar
ketika paham reformasi diterapkan oleh para reformator di beberapa kota
seperti, Augsburg, Basel, Bern, Colmar, Constance, Erfurt, Frankfrut, Jenewa,
Hamburg, Lubeck, Memmingen, Ulm dan Zurich. Para reformator yang sama dengan
Luther dan Calvin, yaitu Thomas Cranmer (Inggris), Ulrich Zwingli (Swiss) dan
Martin Bucer (Strasburg), seakan-akan digerakkan secara simultan dan militan
tanpa pernah berkata ‘menyerah’
untuk menyebarluaskan paham baru yang menjanjikan bagi situasi Eropa Utara,
yakni reformasi.19
Calvin bertobat secara tiba-tiba dan
mengabdikan hidup pelayanannya hanya kepada Kristus. Calvin tampil sebagai
tokoh reformator disebabkan oleh pengaruh kuat dari rekannya, Guillaume Farel.
Kiprahnya bersama Farel dimulai dari Jenewa,
Swiss. Sebuah kota yang pada waktu itu baru saja menerima pengaruh dari
paham reformasi. Kota Jenewa dalam roda pemerintahannya dikuasai oleh suatu
badan normatif yang disebut, Dewan Kota. Badan ini berhak secara absolut untuk
menentukan arah dan kebijakan bagi kehidupan dan kesejahteraan hidup seluruh
penduduk kota Jenewa.20
Calvin menjadi Pendeta di Jenewa sejak
tahun 1536 sampai tahun 1538. Karena kekritisannya terhadap pemerintahan
Gereja, ia tidak lagi disukai oleh Dewan Kota, sehingga menyebabkan dirinya
harus diasingkan. Calvin selanjutnya menempuh studi di Basel. Pada tahun 1540,
Dewan Kota Jenewa meminta Calvin untuk kembali melayani di sana, sebab situasi
Gereja dan kemasyarakatan semakin memburuk. Pada tahun 1541, Calvin kembali ke
Jenewa. Ia melakukan reformasi besar-besaran terhadap sistem tata krama dan
keagamaan sampai pada aturan tentang cara berpakaian dan larangan berdansa.
Usaha Calvin ini menimbulkan pro dan kontra dalam Dewan Kota. Tetapi pada
akhirnya, Calvin mendapat banyak dukungan dari para Dewan Kota karena usaha
pembaharuannya di Kota Jenewa membuahkan hasil yang sangat memuaskan.21
Usaha reformasi yang diterapkan Calvin di
Kota Jenewa adalah akumulasi berimbang dari aspek konteks dan konsep. Alhasil,
Calvin berhasil menerapkan suatu pola pembaharuan yang tidak hanya mengubah wajah
Gereja tetapi yang terpenting, ialah mengubah secara total norma dan perilaku
kemasyarakatan di kota tersebut. Calvin menerapkan konsep baru yang benar-benar
Alkitabiah, yaitu reformasi di bawah terang Kristus, untuk mengganti konsep
lama yang keliru, yakni munculnya paham idealisme liberalis dalam Gereja dan
pemerintah.22
Keprihatinan Calvin terhadap konteks dimana
ia bergumul yaitu Jenewa, membuat ia mendapat tantangan yang terbilang sangat
berat, misalnya dari Dewan Kota yang memandangnya sebagai seorang ‘pengacau’
terhadap sistem yang sedang berjalan sehingga ia harus diasingkan ke Basel.
Pengasingannya di Basel telah menjustifikasi Calvin berkonflik dengan subyek
konteks majemuk, dalam hal ini Dewan Kota, yang berperan di Jenewa. Posisi
Calvin sebagai subyek konteks tunggal membuat dirinya mengalami suatu situasi
konflik batin dan individual yang cukup menekan eksistensinya.23
Perjuangan Calvin untuk melakukan
pembaharuan di Jenewa tidak hanya berhenti pada usaha untuk mengubah konsep
yang telah menjangkiti konteks secara geopolitis. Tetapi lebih luas lagi, yaitu
Calvin berupaya mengembalikan tradisi-tradisi adat dan kebudayaan awal yang
pernah tumbuh di Jenewa, yang pada zamannya sebagai
Pendeta di sana, telah mengalami dekandensi yang cukup serius. Calvin berjuang
untuk merestorasi kembali segenap nilai-nilai luhur yang pernah membudaya di
Jenewa. Menurutnya, tradisi dan nilai kebudayaan tersebut adalah jawaban atas
kebobrokan Gereja di waktu itu, karena di dalamnya terkandung pemahaman
Alkitabiah yang relevan dengan konteks kehidupan masyarakat Jenewa.
Refleksi
Prinsip dasar kekristenan tidak melulu
memutlakkan kedamaian dan ketenangan menjadi garansi terbaik dalam menjalani
kehidupan. Paling penting untuk disadari, ialah intisari luhur dari falsafah
kekristenan. Intisari yang dimaksud adalah suatu rangkaian perjumpaan dengan
nilai-nilai agung yang telah diteladankan oleh Yesus Kristus, ketika hidup dan
berkarya di dunia ini. Dengan kata lain, kekristenan itu dinamis dan merupakan
gambaran utuh atas sebuah petualangan panjang kehidupan seorang insan menuju
kekekalan di dalam Dia, Sang Pemilik Hidup. Inilah tantangan menjadi seorang
Kristen.
Tantangan
tidak perlu dirasakan terlalu berat atau sulit, melainkan tantangan harus dihadapi dengan senyum dan hati tulus.
Singkatnya, seorang Kristen sejati harus siap sedia menghadapi konflik untuk
mempertahankan idealisme sesungguhnya tentang prinsip keselamatan yang benar di
dalam Yesus Kristus. Dibenci, difitnah, dihina, dikucilkan, dianggap pemberontak,
dicap sok’ suci, dizalimi dan bahkan pengorbanan nyawa menjadi konsekuensi
terberat yang setidaknya pernah dialami oleh mereka yang pernah berjuang demi
tegaknya salib Kristus di Bumi ini. Tokoh Musa, Luther dan Calvin adalah
sedikit sampel keteladanan dari mereka yang pernah berjuang demi tegarnya
eksistensi Gereja Tuhan sampai dewasa ini. Namun, kita perlu menggarisbawahi,
yaitu dari dan oleh inspirasi ketiga tokoh tersebut, telah lahir tokoh Musa,
Luther dan Calvin masa kini yang siap sedia menghadang konflik demi keutuhan
Gereja Tuhan dan terutama mereka semua yang hidup berdampingan dengan kita.
Biarlah kuat dan kharisma Roh Kudus senantiasa menguatkan kita. Yakinlah!
Daftar Pustaka :
Barth, Christoph. Theologia Perjanjian Lama I.
Jakarta: Gunung Mulia: BPK Gunung Mulia, 1988
Dankbaar,
W. F. Calvin (Djalan Hidup dan Karjanja). Djakarta: BPK Gunung
Moelia, 1967
France, R. T. Yesus Sang Radikal (Potret
Manusia Yang Disalibkan). Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004
Halverstadt,
Hugh F. Mengelola Konflik Gereja.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002
David
F. Hinson, David F. Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2000)
Kooiman,
W. J. Martin Luther: Doktor Dalam Kitab Suci Reformator Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001
Lane, Tony. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001
McGrath, Alister E. Sejarah
Pemikiran Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002
Nolan,
Albert OP. Yesus Sebelum Agama Kristen: Warta Gembira Yang Memerdekakan. Yogyakarta: Kanisius, 1992
Pandopo, H. A. Luther
(Si Bulbul Dari Wittenberg) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983
Rosin, H. Tafsiran Keluaran: Pasal 1-15. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987
Wright, Christopher J. H. Hidup
Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
* Dosen Sejarah Gereja pada Fakultas
Teologi UKIT
1 Hugh F. Halverstadt, Mengelola Konflik Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hal. 7
2 H. Rosin, Tafsiran Alkitab: Keluaran
pasal 1-15 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), hal. 39
3 C. Barth, Theologia Perjanjian Lama
1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hal. 109
4 Christopher J. H. Wright, Hidup
Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1993), hal. 20
5 Rosin, Op.Cit., hal. 75
6 Albert Nolan SP, Yesus Sebelum Agama Kristen: Warta Gembira
yang Memerdekakan (Yogyakarta: Kanisius,1992), hal.127
7 R. T. France, Yesus Sang Radikal:
Potret Manusia Yang Disalibkan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004) hal. 75
8 Ibid.
9 Ibid. hal. 76-77
10 Ibid. hal. 77-79
11 H. A. Pandopo, Luther (Si Bulbul Dari Wittenberg)
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), hal. 8, 12, 15
12 W. J. Kooiman, Martin Luther: Doktor dalam Kitab Suci Reformator Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hal. 32, 81
13 Ibid. hal. 46
14 Ibid. hal. 51
15 Ibid. hal. 96
16 Christiaan de Jonge, Apa itu Calvinisme? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hal. 6-7
17 W. F. Dankbaar, Calvin (Djalan Hidup dan Karjanja)
(Djakarta, BPK Gunung Moelia, 1967), hal. 9
18 Tony
Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hal. 149
19 Alister E. McGrath, Sejarah
Pemikiran Reformasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hal. 22
20 Dankbaar, Op.Cit.,
hal. 41
21 Ibid., hal. 43-45
22 Ibid., hal. 42-43
23 Ibid., hal. 49-50
0 komentar :
Posting Komentar