Pagi itu, lapangan Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT), ramai dengan orang dan pondok-pondok yang dibangun sederhana tapi kreatif. Hari itu, di lapangan yang biasa dijadikan tempat bermain sepak bola oleh mahasiswa ini akan berlangsung ibadah Perayaan Dies Natalis ke-49 Fakultas Teologi UKIT. Para mahasiswa sudah memenuhi pondok-pondok. Dosen-dosen dan pegawai Fakultas Teologi UKIT juga sudah duduk-duduk manis di sebuah tenda. Para undangan juga semakin banyak berdatangan.
Seorang tua berambut ubanan, tapi masih tampak sehat, penuh wibawa dan percaya diri memakai pakaian adat Minahasa yang dominan berwarna merah. Dia bukan seorang yang asing di lingkungan UKIT atau Fakultas Teologi, atau juga Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Orang-orang mengenalnya sebagai mantan ketua Sinode GMIM. Di lingkungan akademis orang-orang mengenalnya sebagai pakar Perjanjian Lama, sebagian lagi mengenalnya seorang yang konsisten dengan model berteologi kontektual. Dialah Pdt. Prof. Dr. W.A. Roeroe. Hari itu, panitia meminta dia untuk memimpin ibadah Syukur Dies Natalis ke-49 Fakultas Teologi UKIT. Tata ibadah yang dirancang Pdt. Roeroe, berbahasa Tombulu dan kental dengan nilai-nilai keminahasaan.
”Ibadah perayaan Dies Natalis sekolah kita kali ini, sungguh luar biasa. Karena kita beribadah dengan budaya kita, Minahasa,” ujar Pdt. Roeroe saat memulai ibadah.
Judul tata ibadah yang dirancang Pdt. Roeroe adalah ”Raragesan Katotoro Mahlolooz si Opo’ Empung Ne Fakultas Teologi UKIT, Endo Kapitu Oktober 2011.” Karena yang hadir dalam ibadah itu tidak semua orang Minahasa dan lebih khusus dari etnik Tombulu, maka sebelum ibadah di mulai, Pdt. Roeroe menjelaskan pokok-pokok tata ibadah tersebut.
Ibadah dimulai dengan panggilan beribadah dalam bahasa Tombulu. Bunyinya begini:
”Opo’ Empung Renga-rengan, tembone se mangale-ngalei, e royoz!
Tembone se mangale-ngalei, pakatuan pakalewizen, e royoz!
Pakatuan pakalawizen, mengiit u raratate-Mu, e royoz!
Sumaluh u lalan karondozan, sumo’so’ a makapaazen, e royoz!
Somo’so’a makapaazen, lumpampang a makaaruyen, e royoz!
Lumampang a makaaruyen rumages un tou-touan, e royoz!
Rumages un tou-toun takazan ing kaure-ure, e royoz!
Atribut pakaian yang dipakai Pdt. Roeroe, sangat unik. Tidak memakai toga dengan stola seperti hal yang resmi di GMIM. Kali ini dia memakai pakaian adat Minahasa berwarna merah dengan penutup kepala yang berwarna hitam.
”Boleh so, ba pimpin ibadah pake baju adat sama deng prof da pake?” seorang mahasiswa bertanya ketika ibadah sementara berlangsung.
”Tantu boleh no. Sebab, toga atau stola atau atribut gerejawi lainnya yang biasa pendeta-pendeta GMIM ja pake da import dari Barat,” jawab saya.
”Iyo kang. Kalo pake baju adat Minahasa, torang orang Minahasa, dapa rasa sekali dengan suasana ibadah.”
Tentang atribut gerejawi ini pernah didiskusikan dalam Semiloka Injil dan Kebudayaan, Oktober 2009 di Tondano kerjasama Institut Seni Budaya Minahasa dengan UKIT. Rekomendasi dalam semiloka tersebut, bahwa toga, stola dan atribut gerejawi lainnya perlu disesuaikan dengan budaya Minahasa. Pdt. Roeroe sudah lama memperkenalkan atribut gerejawi yang khas Minahasa seperti yang dia pakai pada ibadah ini. ”Pernah satu kali, waktu kita masih ketua sinode GMIM, kebetulan diminta oleh pemerintah Kab. Minahasa untuk memimpin ibadah HUT Minahasa. Kita pake baju adat Minahasa waktu ba pimpin ibadah. Banyak orang suka. Maar, anehnya justru ada teman di sinode sandiri yang menganggap itu tidak wajar. Padahal, salah satu dari apa yang kita sebut berteologi kontekstual adalah dengan menyesuaikan termasuk pakaian pendeta dengan kebudayaan Minahasa,” ujar Pdt. Roeroe kepada saya suatu waktu.
Unsur berkat dalam tata ibadah rancangan Pdt. Roeroe ini disebutnya ”Zazanian I Lumampang.” Menurut Pdt. Roeroe, dia mengadopsi unsur dari dari kebiasan orang Kakasakasen ketika selesai mengadakan kerja. Biasanya, para tua-tua orang Kakaskasen dulu akan menyanyikan sebuah syair syukur kepada Opo’ Empung. ”Mungkin, makna berkat dalam bahasa Tombulu ini lebih luas dan dalam maknanya daripada yang biasa kita pakai dalam tata ibadah pada umumnya. Dan juga, karena sekolah kita ini berdiri di Kakaskasen, maka apa salahnya kalau kita juga meminjam syair tua orang Kakaskasen selesai mereka melakukan kerja,” ujar Pdt. Roeroe menjelaskan makna unsur berkat dalam bahasa Tombulu tersebut.
”Sa lumampang o, e karia,
tia’ kaliuzantama ung kamang wangko’ ni Opo’ Empung!
Sa zumuang katotouanta, maka genang-genanglah kita peleng
un nei Sasani’Ni ma!
Sa mengupu’ung kamberu, tia’ pahento-hentozan e,
Si genang weresih!”
Begitu bunyi nyanyian tua orang Kakaskasen. Sangat bermakna. Sebuah ungkapan syukur kepada sang pemberi kehidupan, atau kepada Yang Maha Tinggi, Opo’ Empung.
Nuansa Minahasa dalam ibadah ini semakin lengkap ketika kue HUT tidak dari kue tart, tapi dari kue khas orang Minahasa, yaitu apang dan cucur. Masing-masing pondok yang dibuat oleh setiap kelompok angkatan mahasiswa menyiapkan tetengkoren. Kelompok mahasiswa angkatan 2006 bahkan memakai seragam yang terbuat dari kain Batik Pinawetengan.
Nilai keterbukaan Minahasa, tampak dengan mengikutsertakan seni tari dan musik etnik lain di luar Minahasa. Seperti tarian ”Balada Cendrawasih” yang dimainkan oleh Rukun Papua, dan musik dan tarian Dero dari Sulawesi Tengah yang diikuti tarian masal civitas setelah ibadah dan jamuan makan bersama. Sungguh, perayaan Dies Natalis ke-49 Fakultas Teologi UKIT tahun ini meriah dan kental dengan budaya.
Bagi saya, ibadah dalam bahasa Tombulu ini adalah kritik atas ketidakjelasan arah berteologi GMIM sekarang ini. Kegemaran mengadopsi model berteologi yang lagi trend namun tidak sesuai dengan alam berpikir Minahasa, fakta sedang menggejala di GMIM, mulai dari aras sinode sampai jemaat. Padahal, GMIM, hingga hari ini, masih melekat dalam namanya kata ”Minahasa”. Yang mestinya tidak hanya sekadar nama, tapi komitmen dan kepedulian pada kebudayaan Minahasa, seperti yang dimaksud oleh Ketua Sinode GMIM pertama asal Minahasa, Ds. AZR. Wenas.
0 komentar :
Posting Komentar