Exodus - No. 2 Tahun XVII, 2010
Ivan R.B Kaunang*
Saya ataupun anda, tidak (sedang) sendirian menanggung aksi-aksi kekerasan yang
melingkupi kehidupan. Pengalaman secara
langsung (kekerasan fisik yang menimpa) atau pun tidak langsung (pengalaman
melihat, mengamati, mendengar dari berbagai media TV, radio, film atau pun
membaca) pernah dialami siapa saja (tidak mengenal umur). Itu berarti bentuk-bentuk kekerasan sudah menjadi ‘kultur’ manusia, dulu,
kini, dan masa depan. Kekerasan fisik, konflik, bentrok, amuk massa, dapat
dihindari (kalau ada ruang untuk menghindar), tetapi kekerasan sebagai bagian
dari memori individu dan kolektif, akan selalu terngiang-ngiang dalam ingatan
bersama. Bahkan beberapa peristiwa-peristiwa khusus (sudah) diberi label
(stereotip) rusuh, konflik, kekacauan, dan tindakan-tindakan (ke)keras(an),
seperti pemilu(kada), dan pilpres. Menurut Thufail (2004), pemilukada dan
memori kekerasan, selalu mengikuti perubahan ruang-ruang sosial, ruang publik
yang terbentuk, bahwa dalam sejarah politik Indonesia, ruang publik selalu
dihantui kekerasan dan memori tentang kekerasan. Banyak contoh mengenai hal ini
dalam sejarah per(politik)an Indonesia1
termasuk beberapa kasus kekerasan dalam kerusuhan lokal.
Banyak kajian tentang kekerasan yang sudah dilakukan, bahkan dalam berbagai
perspektif. Misalnya karya Suryawan (2009), membahas tentang jejak kekerasan
dan sikap kajian budaya pascakolonial; Sulaeman dan Homzah, editor (2010),
mengumpulkan karya-karya kekerasan terhadap perempuan dari berbagai perspektif
(multidisiplin), seperti gender, antropologi, sosiologi, hukum, psikologi,
ekonomi, komunikasi, dan agama; Fauzi (2007) “Kabar-kabar Kekerasan dari Bali”
kajian ini lebih menitik beratkan pada wacana (proses) produksi kekerasan yang
diambilnya dari sejumlah media lokal dan nasional di tanah air; Tadie (2006)
“Wilayah Kekerasan di Jakarta” membahas pemetaan geografis dan pola-pola
kekerasan di Jakarta; Masaaki dan Rozaki, editor (2006) “Kelompok Kekerasan dan
Bos Lokal di Era Reformasi”; Beuken dan Kuschel, et.al. (1997) “Agama sebagai
Sumber Kekerasan?”; Maliki (1999) “Penaklukan Negara Atas Rakyat: Studi
Resistensi Berbasis Religio Politik Santri Terhadap Negaranisasi”. Selanjutnya,
beberapa hasil amatan peneliti tentang kekerasan/kerusuhan Ambon-Maluku yang
dirangkum oleh Ratnawati (2006) dengan judul “Maluku: dalam Catatan Seorang
Peneliti”; Sudagung (2001) “Mengurai Pertikaian Etnis: Migrasi Swakarsa Etnis
Madura ke Kalimantan Barat” dan Sihombing (2005) “Kekerasan Terhadap Masyarakat
Marginal” membahas peran Negara (penguasa) sebagai pelaku utama kekerasan
sistematik.
Dari sejumlah kajian tentang kekerasan, pada umumnya pembahasan pada
kekerasan fisik, masih sangat jarang dijumpai kekerasan yang sifatnya simbolik,
halus, seakan tidak terasa kalau kekerasan sedang berlangsung pada diri ‘kita’
atau pada orang lain, baik individu sendiri sebagai pelakunya maupun sebagai
korban.
Arti Kekerasan
Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan suatu perilaku, baik
terbuka, tertutup menyerang maupun bertahan yang disertai penggunaan kekuatan
terhadap orang lain. Kekerasan terbuka adalah kekerasan yang dapat dilihat,
seperti perkelahian. Kekerasan tertutup adalah kekerasan yang tidak secara
langsung, seperti mengancam. Kekerasan agresif adalah kekerasan yang dilakukan
tidak untuk perlindungan, dilakukan untuk mendapatkan sesuatu. Kekerasan
defensif adalah kekerasan yang dilakukan untuk diri sendiri2.
Kekerasan adalah suatu perihal (yang bersifat atau berciri) keras.
Kekerasan juga diartikan perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang
menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik
atau barang orang lain; kekerasan sama dengan paksaan (Tim Penyusun, 1988:
425). Menurut Sugiharto (2008), di lubuknya yang terdalam pada kekerasan itu
adalah kekerasan. Pelacakan atas akar-akar kekerasan seperti dalam
contoh-contoh kasus kekerasan telah membentuk pemahaman yang penuh dilematis
terhadap sumber pemicu kekerasan serta akibat-akibat yang ditimbulkannya sejak
dulu hingga kini. Kekerasan adalah produk manusia yang kehadirannya dalam
banyak bentuk, baik fisik maupun simbolik, dengan cara yang halus dan menusuk
batin. Dalam perkembangannya, bentuk-bentuk kekerasan (Thufail, 2004) tidak
selalu berupa ingatan tentang peristiwa kekerasan, tetapi dalam bentuk ingatan
(memori) terhadap ingatan itu sendiri, dalam bentuk narasi kekerasan, dan dalam
bentuk berita tertulis di berbagai media cetak dan pemberitaan jaringan internet.
.
Kekerasan Sebagai Gejala Sejarah
Sejarawan UGM, Djoko Suryo3 mencatat
sejumlah kerusuhan lokal yang menarik perhatiannya, yang terjadi di Indonesia
dekade terakhir abad ke-20 sebagaimana dilansir sejumlah media lokal-nasional.4 Peristiwa 27 Juli 1996 di Kota Jakarta,
Peristiwa Situbondo 10 Oktober 1996, peristiwa Tasik Malaya, Peristiwa 26
Desember 1996, peristiwa Sangauleddo, peristiwa Rengasdengklok Februari 1997,
peristiwa Wonosobo – Banjarnegara 9 April 1997, Temanggung 6 April 1997, dan
Solo 20 April 1997. Selanjutnya peristiwa-peristiwa sebelum, sementara, dan
sesudah pemilu (pilpres, pilkada) daerah kabupaten kota di Indonesia. Peristiwa
kerusuhan pada dasarnya menarik, karena bersifat unik, yaitu bersifat lokal dan
particular. Selain itu, peristiwa-peristiwa
kerusuhan pada dasarnya memiliki sifat dan ciri (khas) umum, yaitu sifatnya
yang massal, kolektif, muncul secara spontan dan sporadis, endemis, tempo
kerusuhan yang singkat, cenderung menggunakan aksi kekerasan (violence), brutal, beringas, anarkis, vandalistik, dan destruktif.
Kasus-kasus kekerasan dalam kekinian, seperti dilansir TV-ONE Kabar Petang,
selasa 21 September 2010, kekerasan ada di sekitar kita. Peristiwa tawuran
pelajar SMA di Tangerang, Berantem di jalanan dengan membawa senjata tajam
berbagai bentuk dan ukuran; Bentrok Polisi dan warga eksekusi lahan tanah 14 m2
di Bolaang-Mongondow, beberapa di antaranya cedera, luka ringan; Mutasi
pejabat Kota Tomohon yang diprotes warga. Aksi warga dengan menurunkan bendera
merah putih menjadi setengah tiang, sebagai tanda dukacita; Perampokan Bank,
polisi kejar kelompok teror-terorisme. Selanjutnya, dalam acara Kabar Terkini
TV-ONE hari yang sama, kasus assusila 9 siswa di SD Sumatera Utara yang
dilakukan oleh gurunya. Orang tua pun protes dan melaporkan hal tersebut (bukan
ke Polisi), tetapi ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Acara ‘Suara
Keadilan’ di hari yang sama, TV-ONE melakukan advokasi (perlindungan dan
mencari keadilan) atas kasus malpraktik dokter, pelayanan RSUD kota Batam dalam
suatu penanganan proses kelahiran bayi. Keluarga miskin sekali lagi
tersubordinasi oleh kekerasan kuasa dominan di negeri yang katanya: “berkadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (sila ke-V Pancasila). Harian nasional
KOMPAS, Selasa 21/9-2010, halaman muka, memburu terorisme (Polisi masih buru 15
terorisme, dan 18 anggota jaringan teroris internasional ditangkap).5
Lebih aktual lagi, berita (semua stasiun TV) media TV, Kamis 30 September
rusuh pilkada di kabupaten Bima – Nusa Tenggara Barat dengan adanya aksi
swiping yang dilakukan warga terhadap ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum
(KPU). Aksi swiping ini dilakukan karena dugaan money politics dalam pelaksanaan pemilu (Metro TV Pagi); Aksi
swiping dilakukan tidak hanya di kantor KPU, tetapi sampai mendatangi rumah
kediaman anggota dan ketua KPU (SCTV pagi). Bentrokan antar warga yang terjadi
di Tarakan 5 tewas. Bentrokan terjadi antara warga pribumi dan pendatang dari
Makassar-Sulawesi Selatan. Bentrokan ini di picu atas kasus pembunuhan salah
satu warga, sejumlah personil keamanan, 172 personil POLRI dan 1 batalyon TNI
diturunkan untuk mengamankannya. Warga mengungsi, baik pribumi maupun penduduk
pendatang yang terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak, mereka berjubel di gedung
Satlantas, dan Markas TNI. Lanjutan dari aksi bentrok warga ini, di daerah
seberang (Pare-Pare Sulawesi Selatan) aksi mobilisasi massa terjadi yang
langsung diantisipasi petugas kepolisian di berbagai angkutan laut yang akan ke
Tarakan Kaltim. Bentrokan warga lainnya terjadi di Maluku Utara, karena
persoalan sepele, yaitu pemukulan antar pemuda di kelurahan Jati dan kelurahan
Mangga Dua. Bentrokan lainnya, ratusan warga di Lombok Barat menyerbu (serang)
Mapolres untuk menuntut pembebasan warga yang ditangkap polisi sejak dua tahun
yang lalu, karena pembunuhan. Bentrokan di jalan Ampera Jakarta Selatan,
meresahkan warga sekitar lokasi kerusuhan, toko-toko, kantor-kantor di tutup,
warga menghindar untuk menyelamtkan diri, karena aksi bentrokan yang dilakukan
menggunakan senjata tajam. Sejumlah orang luka perut, leher, dan luka tembak
(TV-ONE pagi).
Berkaca dari sejumlah peristiwa kerusuhan, secara spasial distribusi
terjadinya mencakup segala wilayah komunitas, baik perkotaan maupun pedesaan
bahkan pedalaman (hutan). Dapat dipastikan kekerasan, kerusuhan sudah melanda
hampir seluruh wilayah kota/kabupaten di Indonesia dengan berbagai latar sebab.
Walaupun kejadiannya bersifat lokal, namun dampak yang ditimbulkannya dapat
menggema se antero dunia. Apalagi
kalau kasus-kasus kerusuhan dan kekerasan itu terkait langsung dengan
lingkungan hidup, gender, demokrasi, terlebih pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM).
Dampak kerusuhan, korban yang berjatuhan, kehilangan nyawa, harta benda.
Secara psikologis, masyarakat pada umumnya merasa tidak aman, rasa cemas,
kuatir, dan dapat menyebabkan ketidakstabilan Negara dan bangsa kalau tidak
(se)segera mungkin ditangani oleh aparat keamanan (Polisi, TNI). Menurut Djoko
Suryo, kerusuhan dalam perspektif sejarah merupakan gejala sejarah, artinya
sepanjang masa dapat dijumpai dan tidak terbatas pada masyarakat Indonesia saja
tetapi juga di belahan dunia barat (lain) juga terjadi hal yang sama sebagai
bagian dari dinamika sejarah suatu masyarakat. Menurut Abdullah (1997),
akar-akar kerusuhan sosial, kekerasan6
yang terjadi tidak secara langsung dapat dikaitkan dengan akar sejarah tertentu
di masa lalu. Kerusuhan terjadi disebabkan kondisi kekinian yang menyangkut
struktur dan dinamika penduduk, sikap kekuasaan Negara yang berhadapan dengan
keragaman masyarakat atas keanekaan kebutuhan dan harapannya. Pola-pola
kerusuhan lokal yang berdampak nasional dapat dikaji secara holistik dengan
berbagai disiplin. Dapat saja pola kerusuhan itu oleh karena ketersinggungan
keagamaan, paham, aliran; sentimen ekonomi atas kelompok penguasa dan yang
dikuasai; perlawanan terhadap penguasa atas ketidakadilan dan pemerataan
pembangunan; konflik antar suku, dan kesemuanya itu yang berkaitan dengan SARA
sudah pernah terjadi di Indonesia, dari dulu sampai sekarang.
Kekerasan yang (tidak) Terasa: Perspektif Kajian Budaya
Kajian budaya bermula di Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di
University of Birmingham, Inggris, pada tahun 1964, yang pada tahun 1972
menerbitkan Working Papers in Cultural
Studies (kertas kerja kajian budaya) dengan tujuan khusus “mengartikan dan
memberi ruang” dan “menempatkan kajian
budaya pada peta intelektual”.
Sebagai
suatu disiplin yang usianya baru beberapa dasawarsa, akan tetapi, bahan-bahan
kajian studinya dari berbagai aspek, baik yang mutakhir maupun sebelum lahirnya
CCCS, seperti Marxisme, teori kritis (Mazhab Frankfurt), posmodernisme, budaya
populer, gender, feminisme, dan sebagainya. Lewat CCCS inilah aliran
kulturalisme, khususnya “British Culturalism” (kulturalisme Inggris) diperkenalkan.
Kulturalisme menjadi ciri utama sebagai body
of work sejumlah pengarang seperti Richard Hoggart, Raymond Williams, E.P.
Thompson, Paul Willis, Dick Hebdige, Stuart Hall dan Paddy Whannel. Tokoh-tokoh
yang disebutkan ini, kemudian dikenal sebagai pendiri kajian budaya, mereka
berasal dari latar belakang kelas pekerja sehingga mereka sangat dekat dengan
karya-karya (ke)budaya(an) populer. Kajian-kajian mereka tentu saja menaruh
perhatian yang berbeda-beda terhadap lingkungannya, dan efek kultural pada
kasus masing-masing.
Perkembangan
kemudian, kajian budaya dengan CCCS dan kulturalismenya mengalami proses
internasionalisasi. Selain permasalahan kajian yang semakin luas, dan terutama
pada masa PM Inggris Margareth Theacher (1979-1990), kajian budaya Inggris
bermigrasi ke Amerika Serikat, Kanada, Australia, Perancis, dan India. Tentu
saja kajian budaya di Negara-negara ini mendapat komodifikasi (berfragmentasi)
sesuai dengan keberadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya di masing-masing
Negara tersebut. Selama tahun 1980-1990-an kajian budaya dalam perkembangannya
menjadi sangat beragam. Di beberapa lokasi, kajian budaya menjadi kurang
politis dan menaruh perhatian pada analisis teks dan estetika. Di wilayah lain,
kajian budaya menjadi lebih politis dan menaruh perhatian pada kaum
terpinggirkan, subaltern,
termarginalisasi, tersubordinasi, dalam wacana-wacana keterpinggiran.
Di
Amerika Serikat, kajian budaya menghadapi (suatu kondisi) kekacauan ilmu-ilmu
humaniora dan transformasi sosiologi. Banyak disiplin bergerak aktif ke
masalah-masalah politik, identitas sosial, dan pengkajian atas representasi
bentuk-bentuk kebudayaan. Studi kultural di Amerika Serikat kurang
memperhatikan masalah Marxisme, oleh karena itu, perkembangan kemudian, mereka
kurang memperhatikan masalah politik dan kekuasaan. Hal ini juga dipicu, di
satu pihak Marxisme mulai diserang oleh kelompok postmodernisme, di pihak yang
lain jatuhnya komunisme dan Blok Timur, sehingga melemahkan kepercayaan kepada
sosialisme. Selanjutnya, ketika kajian budaya dilembagakan di Amerika Serikat,
dengan cepat pula diprofesionalkan. Kajian budaya dengan cepat mendapat bahasa
teknisnya sendiri yang diambil dari semiotika dan teori sastra, yang pada
akhirnya kajian budaya di AS menjadi sebuah aktivitas professional yang
terorganisasi dalam wilayah luas
kesarjanaan liberal (liberal atrs).
Di kanada
kajian budaya (kulturalisme) terfokus pada nasionalisme, yaitu bagaimana upaya
Canada menghadapi (bertahan) terhadap pengaruh budaya Amerika. Selanjutnya, kajian
budaya di Australia cenderung lebih dipengaruhi oleh pendahulunya di Inggris.
Teks-teks lokal dan film menjadi ciri utama pengkajiannya, walaupun
ujung-ujungnya melalui film digali masalah-masalah nasionalisme Australia.
Kemudian kajian budaya di Perancis lebih terfokus kepada teritorial/geografis,
batas wilayah atas hegemoni Paris sebagai kota metropolitan di Eropa, dan
masalah-masalah sosial sebagai akibat percampuran etnis, termasuk pemakaian
bahasa Perancis. Salah satu tokoh kajian budaya Perancis adalah Piere Bourdieu
Mengenai
perkembangan kajian kebudayaan di Asia, khususnya Asia Selatan (India) adalah
pertama, kaitannya dengan usaha menemukan hubungan yang harmonis antara manusia
dan alam, kedua, kedudukan bahasa Inggris dengan berbagai mekanisme
antarhubungannya dengan bahasa-bahasa di India. Studi kultural (kajian budaya)
di India bersumber pada sains, lahir sekitar tahun 1980-an. Salah seorang
tokohnya yaitu Ashis Nandy dengan tesisnya bahwa untuk keluar dari hegemoni
Barat maka budaya non Barat harus mendefenisikan sendiri budayanya sesuai
dengan kondisi, konsep, dan kategorinya. Budaya lokal (non Barat) tidak sekedar
melawan budaya Barat, tetapi justru mentransformasikan budaya lokal untuk lebih
kuat dan dapat melawan dominasi budaya Barat (Sardar dan Loon, 1997).
Tokoh
kajian budaya lainnya di India, yaitu Gayatri Cakravorty Spivak, ketokohannya
terutama, ketika memperjuangkan bagaimana wanita-wanita India mampu memberi
peran dalam masa kolonial dengan mengembangkan konsep subordinasi Gramsci
menjadi teori subaltern (Morton,
2008).
Sebagai suatu aliran kulturalisme dan teori kritis (Mazhab Frankfurt),
fokus kekajianbudayaan, adalah bagaimana budaya dipraktikkan dan bagaimana
budaya dibuat atau bagaimana praktik-praktik budaya membimbing (mengarahkan)
berbagai kelompok kelas dalam masyarakat untuk berjuang melawan dominasi
budaya. Para intelektual kajian budaya (harus) lebih memberi ruang kuasa bagi
(ke)budaya(an) pada umumnya (the culture of common people) untuk melawan
elitisme kanonikal, budaya tinggi/hight
culture dari kelas-kelas menengah dan tinggi. Sebaliknya elitism budaya,
kelompok elit dominan mengekspresikan kekuasaannya dengan memberi legitimasi
(kuasa) bentuk-bentuk dan praktik-praktik budayanya sendiri melalui proyeksi
berdasarkan ukuran (penilaian) mereka.
Contoh kasus kekerasan
(kerusuhan, bentrok, tawuran, perang) seperti di uraikan sebelumnya selalu
membayangi kehidupan umat manusia, kapan, dan di manapun. Belum lagi kalau kita
telusuri lebih dalam, sebenarnya ada banyak kekerasan-kekerasan yang terjadi,
tidak (harus) dengan tindakan aktif yang secara jelas-jelas memberi dampak
nyata. Ada kekerasan yang terjadi secara sadar dan di luar kesadaran yaitu
kekerasan simbolik yang (masih) kurang dikaji padahal itu ada, dan hidup, berkembang
di sekitar kehidupan manusia. Kekerasan yang tidak terasa itu adalah kekerasan
simbolik. Dalam cultural studies
(kajian budaya) kekerasan simbolik sudah menjadi perhatian penting sebagai alat
analisis – teori kritis.
Membicarakan kekerasan simbolik, dalam keluarga kajian budaya, tidak bisa
lepas dari tokoh utama teori kekerasan simbolik, yaitu Pierre Felix Bourdieu,
adalah seorang sosiolog yang lahir di
Desa Dengvin, di Distrik Pyrenes-Antlantiques, barat daya Perancis pada 1
Agustus 1930 dan meninggal 23 Januari 2002.7
Semasa kuliah, teman sekelasnya adalah Jacques Derrida, yang kemudian sampai
sekarang dikenal sebagai bapak dekonstruksi (teori dekonstruksi). Bersama
Derrida, Bourdieu belajar filsafat kepada Louis Althusser (salah satu teori
terkenal dari Althuser adalah ISA, yaitu Ideologi, State, dan Apparatus).8
Pierre Felix Bourdieu atau lebih dikenal dengan panggilan Bourdieu (di
baca: borju), dikenal sebagai seorang
pemikir terkemuka Perancis. Selain sebagai sosiolog dikenal juga sebagai antropolog
yang di masa akhir hidupnya dikenal sebagai seorang yang antiglobalisasi.
Karya-karyanya yang kurang lebih 25 buku berupa gagasan serta teori-teori yang
dikembangkannya, menjadi salah satu teori-teori mutakhir abad (ter)kini.
Karya-karyanya memiliki cakupan yang luas, mulai dari etnografi hingga seni,
sastra, pendidikan, bahasa, selera kultural, dan televisi. Beberapa pemikiranya
yang penting antara lain, yaitu habitus, ranah perjuangan, kekuasaan serta
kekerasan simbolik, dan modal budaya. Gagasan-gagasan pemikirannya menjembatani
antara teori dan tindakan.
Menurut Bourdieu (Jenkins, 2004: 157) kekerasan simbolik adalah pemaksaan
sistem simbolisme dan makna, termasuk dominasi budaya (modal atau habitus
budaya) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami
sebagai sesuatu yang sah. Legitimasinya meneguhkan relasi kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan
tersebut berhasil. Selama hal (sesuatu) diterima sebagai sesuatu yang sah,
selama itu pula (kebudayaan) melalui relasi (dominasi) kekuasaan memberikan
reproduksi yang terus-menerus dan sistematis. Dapat dikatakan bahwa sistem
kerja kekerasan simbolik memiliki identik dengan hegemoni (lihat teori hegemoni
Gramsci), hegemoni budaya, kuasa dan dominasi budaya. Pihak yang terhegemoni tidak
merasakannya sebagai suatu beban, diterima dan dilaksanakan, padahal mereka
telah masuk dalam lingkaran kuasa relasi, menjadi hamba (subaltern).
Kekerasan simbolik terjadi dalam ruang-ruang sosial kehidupan masyarakat
keseharian, tetapi mereka yang terkena kekerasan simbolik tidak merasakannya,
karena itu dianggap sah, sebagai bagian dari tugas dan pekerjaan orang bawahan,
yang dikuasai dan yang diperintah. Seluruh tindakan, aktivitas manusia berebut
kuasa dalam ranah-ranah (ruang) sosial, dijadikan sebagai suatu arena bagi
perjuangan sumberdaya. Individu, institusi, dan agen lainnya mencoba menbedakan
dirinya dengan orang lain dan berusaha mendapatkan (mengumpulkan) habitus
(modal) yang berguna dan berharga agar dirinya mendapat legitimasi (kekuasaan).
Dalam masyarakat modern, ada dua sistem hierarkis yang berbeda. Pertama adalah
sistem ekonomi, di mana sistem ekonomi dan kuasa ditentukan dari kepemilikan
uang dan harta (pusaka) – sejumlah modal yang dimiliki seseorang. Sistem kedua
adalah budaya atau simbolik. Dalam sistem ini, status seseorang ditentukan oleh
seberapa banyak modal (habitus) simbolik atau modal budaya yang dimilikinya.
Melalui kuasa budaya, dominasi budaya, modal budaya, terutama para intelektual
(lihat teori kuasa pengetahuan) memegang kunci sebagai spesialis produksi
budaya dan pencipta kuasa simbolik (hal ini dapat dibaca sebagai yang
memproduksi kekerasan simbolik).
Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang secara paksa (dipaksakan)
seseorang yang menerimanya mendapat kepatuhan yang tidak dirasakannya sebagai
paksaan dengan bersandar pada harapan kolektif yang sudah tertanam secara
sosial. Fenomena sosial seperti ini, dapat kita temui, ketika seorang tokoh
berbicara, seorang Imam, Pendeta, tokoh supernatural berucap, tidak ada yang
membantahnya, semuanya adalah benar, dan apa yang diucapkannya memang diyakini
berasal dari yang ‘mahakuasa’. Jika terjadi kesalahan, hal-hal tersebut secara
sosial dianggap “dia jugakan manusia”. Bourdieu menemukan adanya semacam aturan
yang (telah) disepakati secara sosial hirarkis dalam masyarakat yang tidak
tertulis, siapa yang ditokohkan. Aturan-aturan yang bekerja dijadikan sebagai
modus dari lahirnya kekerasan simbolik. Bourdie mau menunjukkan bahwa operandi
dari kekerasan simbolik bekerja secara halus dalam berbagai ranah sosial dan
bentuknya yang tersembunyi, selalu membayangi kehidupan manusia. Kekerasan
simbolik adalah kekerasan yang sangat halus yang dilakukan oleh agen-agen yang
memproduksi kekerasan simbolik tanpa mengundang resistensi, sebaliknya justru
mengundang konformitas secara sosial masyarakat pendukungnya.
Sosok Bourdieu sebenarnya lebih dikenal sebagai pakar sosiologi pendidikan,
walaupun pemikirannya dielaborasi dari sosiologi, antropologi, dan filsafat. Di
bidang sosiologi pendidikan, Bourdieu berpendapat bahwa sosiologi pendidikan
bukanlah disiplin ilmu sekunder, sebaliknya ia merupakan inti dari seluruh
sosiologi. Kajian-kajian Bourdieu dalam sosiologi pendidikan, seperti struktur
kuasa dan pengajaran yang kemudian menginspirasinya melahirkan teori kekerasan
simbolik. Digambarkannya, bahwa sekolah sebenarnya mereproduksi pembagian
kultural dalam masyarakat dengan berbagai cara yang kelihatan dan tidak,
disamping netralitasnya yang tampak. Bagi Bourdieu sekolah merupakan tempat
penggunaan kekerasan simbolik untuk melegitimasi tatanan sosial yang berlaku
dan absah (Harker dkk, 2005: x).
Melalui lembaga-lembaga pendidikan, mekanisme kekerasan simbolik
diproduksi. Lembaga pendidikan diciptakan sebagai alat hegemoni, yaitu sebagai
alat memperkuat gagasan dan sistem ideologi tertentu yang bersifat dominan,
seperti kapitalisme. Dengan demikian terbuka peluang terciptanya berbagai
bentuk pemaksaan gagasan, pengetahuan atau ideologi. Kekerasan simbolik adalah
kekerasan yang halus dan tersembunyi, yang menyembunyikan dirinya dibalik
pemaksaan dominasi aturan-aturan dan kebijakan pendidikan, yang tidak tampak
sebagai suatu pemaksaan (fisik) tetapi dianggap sah, dilakukan secara kolektif,
sehingga tidak tampak dominasinya. Dalam perkembangannya, dominasi dibentuk
sedemikian rupa melalui berbagai media massa, agama, atau pendidikan, sehingga
walaupun sudah salah! Tetapi sesungguhnya dipaksakan, dan dianggap tidak perlu
dipertanyakan (dalilnya untuk kepentingan umum). Hal ini sejalan dengan
pemikiran Foucault dalam teori kuasa dan pengetahuan, kekerasan simbolik
diproduksi dengan meligitimasi diri melalui produksi citra bahasa yang
digunakan (power langunges),9 tanda-tanda dipertukarkan dengan citra
diri yang memiliki pengetahuan lebih (tahu) dari yang lain (Piliang, 2006:
359).
Dalam kuasa bahasa, dapat dilihat dari hirarki bahasa yang digunakan,
bagaimana kekerasan simbolik bermain dengan halus, karena kekerasan simbolik
merupakan pemaksaan kesewenang-wenangan budaya, maka kekerasan semacam itu
lewat penggunaan bahasa. Setiap ucapan dalam pandangan Bourdieu, adalah hasil
kompromi antara ‘keinginan ekspresif’ (apa yang harus dikatakan) dan
penyensoran yang inheren dalam struktur pasar tempat ucapan itu dihasilkan.
Objektivasi pasar atau formalitas kesempatan berucap dan jarak sosial antara
pembicara dan penerima dapat diamati sensor tensi respons yang diterima
pendengar (ekspresi yang muncul). Semakin formal suatu acara, dan semakin
lembut ucapan yang disampaikan semakin nyata kekerasan simbolik yang tersembunyi
(Thompson, 2007: 97).
(Belum) Sebagai Penutup
Kekerasan simbolik diterima sebagai sesuatu yang wajar karena kekerasan
simbolik menggunakan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh pelaku-pelaku
sosial sejak lahir, dengan struktur objektif yang diciptakan dalam ruang-ruang
sosial. Mekanisme kekerasan simbolik terjadi dengan cara eufemisasi dan
sensorisasi. Eufemisasi berkaitan dengan kekerasan simbolik yang tidak tampak,
bekerja secara halus, (sering) tidak dapat dikenali, dipilih secara ‘tidak sadar’.
Bentuk-bentuk kekerasan simbolik seperti ini, seperti tindakan berupa
kepercayaan (menurut), kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, utang,
pahala, atau belas kasihan. Mekanisme sensorisasi menjadikan kekerasan simbolik
tampak sebagai bentuk dari pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap baik
sebagai ‘moral kehormatan’ seperti kesantunan, kesucian, dan kedermawanan yang
biasanya dipertentangkan dengan ‘moral rendah’ seperti kekerasan, kriminal,
ketidakpantasan, asusila, dan kerakusan (Rusdiarti, 2003: 38-39). Awas,
kekerasan ada di sekitar anda! (Belum).
Pustaka Bacaan
Althuser, Louise. 1984. Essays and Ideology. London: Verso. (diterjemahkan tahun 2004 (cet 1), dan (2006 (cet II) dengan judul Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis,
Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
--------------------. 1971. Lenin and Philosophy, and Other Essays. (diterjemahkan, 2007) Filsafat Sebagai Senjata Revolusi.
Yogyakarta: Resist Book.
Beuken, Wim & Kuschel, Karl Josef, et.al., (2003). Agama Sebagai Sumber Kekerasan?. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Fairclough, Norman. 2003. Languange and Power: Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi. Malang:
Boyan Publishing.
Fauzi, Arifatul Choirl. 2007. Kabar-kabar Kekerasan dari Bali. Yogyakarta: LKiS.
Harker, Richard, dkk., 2005. (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif
kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. (Terjemahan). Bandung: Jalasutra.
Jenkins, Richard. 2004. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Kaunang, Ivan R.B. 2010. “Konsep Kunci dan
Masalah-masalah Aktual Sosial Budaya” Makalah
yang dibawakan dalam Latihan
Kepemimpinan Tingkat Lanjut (LKTL).
Badan Eksekutif Mahasiswa FMIPA – Univ. Kristen Indonesia – Tomohon,
Sabtu 25 September 2010. Jam 13.00 – 15.00 Wita. hlm. 1-5.
Lechte, John. 2001. 50 Filsuf
Kontemporer: dari Strukturalisme sampai Postmodernitas. Yogyakarta:
Kanisius. hlm. 79-85.
Morton, Stephen. 2008. Gayatri
Spivak: Etika, Subaltern dan Kritik Penalaran Poskolonial. (Terjemahan).
Yogyakarta: Pararaton.
Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia
Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta –
bandung: Jalasutra.
Ratnawati, Tri. 2006. Maluku Dalam
Catatan Seorang Peneliti. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rusdiarti, Suma Riela. 2003. “Bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan” dalam Basis. Edisi khusus Pierre
Bourdieu No. 11-12, Tahun ke-52, November-Desember.
Sardar,
Ziauddin & Loon, Borin van. 1997. Cultural
Studies for Beginners. Cambridge: Icon Books. Ltd.
Sihombing, Justin M., 2005. Kekerasan
Terhadap Masyarakat Marginal. Yogyakarta: Narasi.
Sugiharto, Bambang. 2008. “Putri Cina: Semacam Genealogi
Kekerasan” dalam Basis No. 1, 2 –
Januari Februari, Yogyakarta: Kanisius. hlm. 43-47.
Sulaeman, Munandar, dan Homzah (ed)., 2010. Kekerasan Terhadap Perempuan: Tinjauan dalam
Berbagai Disiplin Ilmu dan Kasus Kekerasan. Bandung: Refika Aditama.
Suryawan, I Ngurah. 2010. Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara di Bali Utara. Jakarta:
Prenada Media Group.
- - - - - - - - -. 2009. Bali: Pascakolonial, Jejak Kekerasan dan Sikap Kajian Budaya. Yogyakarta:
Keppel Press.
Suryo, Djoko. 1997. “Kerusuhan Lokal dalam Perspektif
Sejarah” Ulumul Qur’an No. 5 VII.
Yogyakarta. hlm. 8-23.
Tadie, Jerome. 2009. Wilayah
Kekerasan di Jakarta. (Terjemahan). Jakarta: Forum Jakarta – Paris.
Thompson, John B. 2007. Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia. (Terjemahan).
Yogyakarta: IRCiSoD.
Thufail, Fadjar J., 2004. “Pemilihan Umum: Ruang Publik
Politik, Memori Kekerasan” Basis. No.
03-04 Maret – April. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 18-25.
Tim Penyusun Kamus, 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
Sumber
Internet:
(http://nilaieka.blogspot.com/2009/05/teori-kekerasan.html),
diakses Agustus 2010.
* Dr. Ivan R.B Kaunang, S.S., M.Hum. S1, Sarjana
Sastra – Jurusan Ilmu Sejarah, UNSRAT (1987-1993), S2, Magister Humaniora,
Program Studi Sejarah, UGM Yogyakarta (1997-1999), S3, Program Doktor Kajan
Budaya (Cultural Studies) Univ. Udayana, Denpasar Bali (2007 – 2009). PNS/Dosen
tetap Jurusan Ilmu Sejarah, Faksas. Unsrat Manado. Dosen tamu STIEPAR Manado. Dosen
Pascasarjana, Program Studi Linguistik Antropologi, UNSRAT Manado. Email:
ivanzkaunang@yahoo.co.id
1 Banyak contoh memori kekerasan yang
terjadi, seperti pembunuhan massal tahun 1965-1966 adalah peristiwa kekerasan
yang mempengaruhi pelaksanaan pemilu 1971, kemudian kerusuhan massal Mei 1998
awal suatu orde reformasi.
2
http://nilaieka.blogspot.com/2009/05/teori-kekerasan.html
3 Djoko Suryo. 1997. “Kerusuhan Lokal dalam
Perspektif Sejarah” Ulumul Qur’an No.
5 VII. Yogyakarta.
4 Media lokal-nasional sebagai rujukan,
seperti Harian Republika, Kompas, Kedaulatan Rakyat; Majalah Forum, D&R,
dan Gatra sepanjang tahun 1996-1997.
5 Selengkapnya, lihat Ivan R.B Kaunang.
2010. “Konsep Kunci dan Masalah-masalah Aktual Sosial Budaya” Makalah yang dibawakan dalam Latihan Kepemimpinan Tingkat Lanjut
(LKTL). Badan Eksekutif Mahasiswa FMIPA
– Univ. Kristen Indonesia – Tomohon, Sabtu 25 September 2010. Jam 13.00 – 15.00
Wita. hlm. 1-5.
6 Bandingkan dengan buku yang ditulis Freek
Colombijn Lindblad (Eds).,2002. Roots of Violence in Indonesia. Leiden:
KITLV Press. hlm. vii + 348. Buku ini berisi fenomena kekerasan di Indonesia dengan pendekatan historis
sejak zaman kolonial dalam memahami kekerasan. Secara umum buku ini menuliskan
bahwa kekerasan memiliki akar sejarah atau warisan colonial. Kolonialisme telah
memproduksi akar-akar kekerasan secara sistematis.
7 Biografi singkatnya dapat ditemukan dari
sejumlah buku-bukunya yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, atau
dalam John Lechte. 2001. 50 Filsuf
Kontemporer: dari Strukturalisme sampai Postmodernitas. Yogyakarta:
Kanisius. hlm. 79-85.
8 Teori Ideologi, State, dan Aparatus (ISA)
dapat dibaca dalam Louis Althuser. 1984. Essays
and Ideology. London: Verso. Buku ini sudah diterjemahkan tahun 2004 (cet
1), dan (2006 (cet II) dengan judul Tentang
Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta:
Jalasutra. Selanjutnya, buku Louis Althuser. 1971. Lenin and Philosophy, and Other Essays. Telah diterjemahkan Filsafat Sebagai Senjata Revolusi diterbitkan oleh Resist Book
Yogyakarta, Februari 2007.
9 Mengenai kuasa bahasa, bagaimana bahasa
diguakan sebagai alat dominasi budaya, kekerasan simbolik, dapat dibaca pada:
Norman Fairclough. 2003. Languange and
Power: Relasi bahasa, Kekuasaan dan Ideologi. Malang: Boyan Publishing.
1 komentar :
dimana bisa beli buku Kabar-kabar Kekerasan dari Bali itu ya??
Posting Komentar