Facebook Twitter Google RSS

Rabu, 17 Desember 2008

Fakultas Teologi Ukit Sebagai “Dapur” Teologi

ADMIN    21.03  1 comment

“Sebuah Refleksi Tentang Eksistensi Fakultas Teologi UKIT Sebagai Sebuah “Dapur Teologi” yang darinya Lahir Teolog-teolog Formal yang Bekerja dalam Pelayanan Gereja dan Masyarakat”

Oleh: Billy Mentang

Introduksi

Fakultas Teologi UKIT sebagai sebuah dapur. Pernyataan ini kedengarannya aneh. Masakan perguruan tinggi yang pada 7 Oktober 2008 merayakan Dies Natalisnya ke-46 disebut sebuah dapur? Mungkin saja. Mungkin, jika yang dimaksud adalah dapur di bagian belakang kantor fakultas yang dikomandani setiap hari dengan rajin dan setia oleh Tante Else (panggilan akrab). Tapi apakah benar jika seluruh aktivitas dan tujuan Fakultas Teologi UKIT yang bersumber dari visi dan misinya adalah demi satu tujuan yakni sebagai sebuah dapur layaknya aktivitas dapur dalam pengertian lazimnya. Kalau begitu, apa bedanya dengan dapur-dapur masyarakat (termasuk di rumah saudara dan saya) yang tak terhitung lagi banyaknya. Apakah memang sengaja didirikan untuk tujuan layaknya sebuah dapur.

Menyebut kata dapur memang mengarahkan pikiran kita pada proses memasak di dalam sebuah dapur. Ada tempatnya, ada peralatannya ada bahan masakannya dan ada juru masaknya. Yang terpenting untuk diingat ialah tanpa dapur (proses memasaknya, bahan-bahannya, peralatannya, cara memasaknya dan orang yang memasak) tidak mungkin kita menyantap makanan yang enak dan bergizi.

Sekarang, mengapa Fakultas Teologi UKIT disebut sebagai “dapur”? Ya, alasannya jelas. Fakultas Teologi yang sudah berusia 46 tahun ini mirip dan memang adalah sebuah “dapur”. Dianalogikan sebagai sebuah dapur. Proses dan tujuannya sama. Menghasilkan makanan yang enak dan bergizi. Menghasilkan teolog-teolog yang berkualitas. Teolog-teolog yang laku dipasaran (marketable). Disukai pengguna (User) dan Capable (mempunyai kapabilitas/dapat dipercaya kualitasnya) dalam bidangnya.

Fakultas Teologi UKIT sebagai “dapur” Teologi

Nah, sekarang bagaimanakah model dan cara kerja “dapur teologi” ini. Deskripsinya sebagai berikut: disebut dapur jika ada tempatnya. Ada ruang yang memungkinkan terjadinya suatu proses. Ada lokasinya. Demikianlah lembaga pendidikan teologi yang berdiri 7 Oktober 1962 dengan nama PTTh (Perguruan Tinggi Theologia). Visinya untuk meningkatkan pelayanan gereja agar mampu menjawab tantangan zaman, dan karenanya memiliki misi untuk mendidik dan memperlengkapi pemudi-pemudi yang terpanggil menjadi pendeta yang handal. Itulah dapur yang telah didirikan untuk menyajikan lulusan yang siap melayani sebagai pendeta yang handal.

Demikianlah prinsip kerja di dapur berlaku juga di Fakultas Teologi. Ibarat proses terjadinya suatu masakan (butuh bahan, peralatan, kerja dan hasil), demikianlah masakan dari dapur teologi ini butuh proses dan racikan masakan yang benar untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas dan mempunyai daya saing.

Dengan peralatan dapur yang memadai (sarana/pra-sarana), sangat terbantulah si juru masak (para pengajar) atau orang-orang yang memasak untuk melaksanakan tugasnya. Tentulah bahan-bahan dasar (muatan ilmu/materi) yang baik (bersih, segar dan bergizi) akan menentukan kualitas masakan nantinya. Bukan itu saja, bumbu-bumbunya harus lengkap. Mulai dari garam, merica, bawang putih, bawang merah sampai bawang Bombay harus tersedia. Semua aspek dalam menunjang kelengkapan ilmu harus memadai. Jika semua bumbu yang diperlukan dalam suatu masakan tersedia dengan kualitas yang baik, hasilnya juga pasti baik.

Sekarang cara meraciknya. Prosesnya. Perkuliahannya, proses belajar-mengajarnya. Jika salah meracik berbahaya! Bisa tidak enak masakannya. Jika yang ditaruh pertama kali di kuali yang sudah panas adalah bawang putih/bawang merah dan bukan minyak goreng, maka bukan bawang goreng tetapi bawang “angus” hasilnya. Bukan harum bawang, tapi harum “arang”. Jadi prosesnya harus benar. Kurikulumnya harus menjawab kebutuhan dan tersusun dengan sistematis dengan sasaran yang tepat dan jelas.

Orang yang memasak (pengajar-pengajarnya) juga harus memiliki skill (kecakapan) yang tinggi. Bagaimanapun juga skill juru masak sangatlah menetukan. Proses memasak bukan sim sala bim atau abra ka dabra. Duar!!! Langsung jadi. Tidak! Butuh waktu. Butuh kesabaran dan ketekunan. Jika belum waktunya kemudian sudah disajikan akibatnya fatal. Dapat dibayangkan kalau harusnya seorang mahasiswa diwajibkan memperoleh 144 atau 150 SKS, tapi kemudian sudah diwisuda padahal baru mengumpul 60-an SKS. Bisa kurang garam. Belum matang betul, alias “manta tenga”. Pasti tidak enak dimakan! Mana mungkin orang suka makan makanan seperti itu. Kalaupun terlanjur dicicipi, sisanya pasti dibuang. Masakan itu jadi tidak ada artinya. Tidaki berkualitas. Sudah jelas, tidak laku dipasaran. Jadi sekali lagi waktu dalam proses itu penting.

Beberapa kali si juru masak harus mencicipi masakan yang sementara dimasaknya. Sudah pas atau belum? Jangan terlalu banyak dibumbuhi. Nanti rasanya hambar. Jangan CBSA (curah bahan sampai habis). Selera lidahnya juga menentukan. Kurang garam atau “pait garam”. Jika sudah tepat waktu dan semua sudah masuk dalam kuali menurut waktu dan urutannya, hasilnya pasti luar biasa. Lezat, gurih, pedas, asam dan manisnya pas. Mengundang selera. Harumnya mengundang rasa lapar !!! Emm … liur ditelan dulu. Belum waktunya makan.

Akhirnya barulah ia tiba di meja makan dengan hiasan yang menarik dan yang terpenting mengundang selera. Di situlah rasa (kualitas) masakan itu dibuktikan. Dibuktikan oleh penggunanya. Gereja maupun masyarakat. Sebab lulusan fakultas teologi UKIT tidak hanya bekerja di gereja saja. Ada yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta. Apakah enak, pas atau tidak, penggunalah (User) yang menentukan dan sekaligus memberi penilaian atasnya. Jika rasanya nikmat dan memuaskan, pastilah si juru masak mendapat pujian. Ia mendapat apresiasi dan masakannnya ingin selalu dinikmati semua orang. Harusnya karena semakin banyak peminat, pendapatannya (kesejahteraannya) juga meningkat. Itu berarti dapurnya akan terus beraktivitas. Namun kenyatataanya berbeda. Bukan kesejahteraan meningkat, malah upah yang harusnya rutin mereka terima tidak dibayar. Bekerja susah payah tapi tak berdaya karena upah ditahan! Aneh tapi nyata.

Menghasilkan makanan yang enak, sehat bergizi dan disukai semua orang. Itulah kerja si dapur teologi dan para juru masaknya. Bagaimanapun juga, di dalam dapur itulah dan karena jasanyalah serta racikan yang luar biasa si juru masak dan dibarengi proses yang benar telah membuat dapur itu tetap eksis dan Berjaya. Teolog-teolognya laku di pasaran. Walaupun disadari juga ada yang sepertinya belum layak keluar dari dapur ke meja makan karena prosesnya belum sempurna. Belum enak dan belum layak dinikmti banyak orang.

Demikianlah fakultas Teologi UKIT diusianya yang ke-46 terus menjadi kebanggaan kita semua. Walaupun harus diakui sepanjang sejarahnya tidaklah lepas dari berbagai tantangan dan kesulita samapai saat ini. Kesulitan yang dihadapi dengan keuletan, kesabaran dan kerja keras. Semua itu membuahkan hasil yang memuaskan. Lulusan-lulusannya diakui kualitasnya oleh pengguna. Gereja dan masyarakat. Lulusannya mampu ber-teologi (doing theology) di tengah masyarakat yang beragam cara pandang dan kebiasaan.

Semoga masakan yang muncul dari dapur ini tetap disukai dan bermanfaat bagi banyak orang. Tetap sehat, segar, enak dan yang terpenting bergizi. Ya, bergizi. Sebab bisa saja masakan itu enak dipandang dan enak di mata tapi tidak enak untuk kesehatan. Enak belum tentu bergizi. Yang diharapkan supaya penggunanya tidak suka “jajan di luar” lagi. Karena jajanan di luar itu belum entu sehat dan bergizi. Karena itu, masakan dari dapur teologi ini harus benar-benar enak, menarik dan bergizi! Bermanfaat dan bermutu tinggi. Bukan masakan yang membuat orang tidak berselera makan atau malah membuat orang meresa sakit perut. Kualitasnya harus tetap dipertahankan. Harus mampu bersaing, sehingga kepercayaan dan rasa memiliki (Sense of Belonging) dari pengguna (User) tetap terjaga.

Jaya terus Fakultas Teologi UKIT! Selamat Dies Natalis ke-46 kepada seluruh civitas akademika. God Bless Us.

Penulis, Mahasiswa Fakultas Teologi UKIT



1 komentar :

Hot Leadership mengatakan...

Good article. Sangat penting untuk diingat bahwa sebelum memasak, tetapkan dulu jenis masakannya sehingga menjadi jelas jenis bahan yg dibutuhkan dan bumbu apa yang harus diadakan agar proses dan peralatannya bisa berfungsi optimal. Menetapkan jenis masakan di awal akan sangat membantu pilihan cara masaknya. Itu berarti menjadi penting untuk memikirkan kualitas dan kapasitas output yg pada gilirannya membantu dalam penetapan kurikulum. Menurunkan visi dalam kurikulum. Terima kasih. Jeffrie lempas/Angk 87.

Labels

Recent news

About Us

Fakultas Teologi UKIT (Jln. Raya Tomohon Kakaskasen) Telp. (0431) 351081, Fax (0431) 351585