Facebook Twitter Google RSS

Kamis, 24 Februari 2011

KEKRISTENAN DAN KONFLIK: Eksplorasi Fakta Alkitabiah dan Kekristenan pada Era Reformasi Gereja

ADMIN    02.35  No comments




Oleh Max Edward Tontey

Gagasan Awal*
Kekristenan pada awalnya adalah suatu ‘euforia jiwa’ bagi seluruh insan di muka bumi ini, sebab di dalamnya mengandung janji kepenuhan tentang suatu ‘corpus christianum’ (kerajaan Kristen yang ideal di dunia) yang aman, damai dan tenteram. Tidak hanya itu, kekristenan juga dipandang sebagai satu-satunya ‘idealisme mutlak’ yang dapat menyelamatkan manusia pada akhir hayatnya, yakni ketika menghadapi kematian di ‘alam baka’ nantinya. Konsep yang kemudian dikenal dengan istilah ‘hangat’ masa kini, salvation (keselamatan).

Lebih kurang 2000 tahun, kekristenan mengkristal dalam lembaga keagamaan yang namanya Gereja. Ternyata, untuk mencapai apa yang namanya keselamatan kekal, manusia harus berjuang dan berhadapan dengan konflik, baik yang muncul di sekitar lingkungan terdekatnya, maupun  yang bergelora dalam batinnya. Tidak hanya manusia yang fana saja, bahkan Yesus Kristus sendiri pun sebagai Anak Allah yang hidup, mendapat tantangan serius dari konflik yang terbentuk dalam komunitas Yahudi, ketika Ia mengabarkan kabar keselamatan bagi dunia ini. Lalu, konflik apa yang dihadapi oleh Yesus? Bagaimana Ia menghadapinya? Demikianlah, tokoh Musa dalam catatan sejarah Alkitab, Luther dan Calvin dalam catatan sejarah Gereja turut bergumul dengan kenyataan konflik yang sama.

1.       Musa Dalam Konflik menurut Perjanjian Lama
Tuhan Allah tidak pernah menciptakan konflik, apalagi menghendakinya. Namun di sisi lain juga, Tuhan Allah memakai konflik dalam bentuk perbedaan dan pertikaian untuk menegur dan melerai umat-Nya yang terlibat konflik. Apupun maksud Tuhan Allah tersebut, konflik pasti muncul dengan tujuan yang jelas.
Menurut Jack Stotts yang dikutip oleh Halverstadt (ahli manajemen konflik Gereja) dalam bukunya berpendapat, bahwa proses etis yang berjalan pada alur konflik senantiasa berada dalam syalom Allah, yaitu perdamaian-Nya yang didasarkan pada perwujudan kasih, keadilan, penebusan, pembebasan, kebenaran dan belas kasih Allah. Artinya, sejalan dengan itu Tuhan Allah senantiasa bertindak dengan tujuan menghadirkan damai sejahtera di muka bumi serta seluruh ciptaan. Tindakan Tuhan Allah ini merupakan pencitraan diri-Nya yang agung selaku Pencipta. Masa lampau dan kekinian telah menyaksikan Tuhan Allah yang dinamis menurut berita Perjanjian Lama.1

Dalam perjalanan bangsa Israel menuju tempat yang dijanjikan-Nya, tangan Allah yang perkasa selalu memberi kekuatan yang luar biasa. Umat pilihan Allah ini percaya akan kehadiran Allah yang turut serta dan benar-benar hidup bersama mereka. Allah bergerak dengan caranya. Alam semesta adalah media dan langit ialah tempat Sang Khalik berkarya. Ketika peristiwa eksodus dari Mesir, penyataan kehadiran Allah adalah berupa tiang awan di waktu siang dan tiang api di waktu malam. Ini merupakan metode ilahi untuk menyatakan kekuasaan-Nya selaku pencipta.
Umat Israel pun bersukacita karena Allah yang bergerak, yang hidup turut menggerakkan semangat hidup mereka. Allah dengan kedinamisan-Nya, menghendaki umat Israel terlepas dari situasi perbudakan di Mesir Peristiwa eksodus ini dikenang sebagai sebuah momentum yang menyatukan Israel menjadi bangsa (nation). Tulisan-tulisan para nabi dan pemazmur pada masa sesudahnya banyak menceritakan tentang peristiwa itu dan memuji-muji Allah atas apa yang telah dilakukan­-Nya.
Menurut H. Rosin (ahli Perjanjian Lama), bahwa tentang kesengsaraan bangsa Israel dan maksud penyelamatan Allah didasarkan pada janji keselamatan Tuhan Allah bagi seluruh bangsa di dunia ini. Ungkap Rosin, “Sekarang Allah melihat. Ia memandang orang-orang Israel itu. Ia menilik kesengsaraan mereka (bandingkan Mazmur 31:8). Dan bilamana Allah melihat, maka manusia itu sudah tertolong (bandingkan Kejadian 16:13). Allah yang melihat itu memandang penting apa yang dilihat-Nya. Ia memperhatikan keadaan orang Israel itu. Ia mengetahui ketidakadilan yang dialami umat-Nya dalam perbudakan di Mesir itu.2
Mengenai peristiwa eksodus bangsa Israel dari tanah Mesir, Chistoph Barth (ahli  Perjajian Lama) menegaskan, bahwa “Keluar dari Mesir” tidaklah melulu berarti “meninggalkan tanah Mesir”, lalu pindah ke lain negeri. Penamaan Mesir sebagai “rumah perbudakan” sudah menjadi petunjuk ke arah yang kita maksudkan : “pindah negeri” tadi barulah mendapat arti “pindah suasana” dan “pindah keadaan.” Allah tidak hanya memindahkan umat-Nya dari negeri yang satu ke negeri yang lain, tetapi sambil berbuat demikian, dipindahkan-Nya mereka dari keadaan perbudakan ke keadaan kemerdekaan. Sejumlah kata kerja lainnya menyatakan segi perbuatan-Nya ini dengan sejelas-jelasnya : “mengeluarkan” dan “mengangkat” adalah sama artinya dengan “meluputkan”, “menyelamatkan”, “melepaskan”, “membebaskan”, bahkan “menebus” dari tanah Mesir, yakni dari negeri yang disamakan dengan suatu “rumah” di mana umat Israel menderita dengan segala rupa “penindasan” dan “perbudakan”.3
Sebelumnya, tindakan Tuhan Allah dengan mengutus Musa terlebih dulu, adalah cara Tuhan Allah untuk mengubah konsep perbudakan menjadi Teologi Pembebasan di dalam konteks atau wilayah Tanah Mesir. Musa adalah tokoh yang dipilih oleh Allah sebagai pembebas umat kesayangan-Nya. Tentang pengutusan Musa, Wright Christopher (ahli Etika Perjanjian Lama) berasumsi, bahwa Allah tidak mengutus Musa ke Mesir dengan hukum yang akan disampaikan kepada Israel dalam perbudakannya, “Inilah hukuman Allah. Kalau mulai dari sekarang kamu memelihara dengan sepenuhnya, maka Allah akan melepaskan kamu dari perbudakan ini.” Kepada Israel tidak dikatakan bahwa mereka dapat memperoleh atau mempercepat pembebasan mereka dengan memelihara hukum Allah. Tidak, Allah yang  bertindak terlebih dahulu. Ia menyelamatkan mereka dan kemudian membuat perjanjian dengan mereka, yang mencakup hukum itu sebagai ungkapan rasa syukur dan kesetiaan kepada Allah yang menyelamatkan.4
Di sinilah proses pembebasan itu mengalami benturan dengan konflik. Musa harus berhadapan dengan Firaun yang keras kepala dan bala tentara Mesir. Tidak hanya itu juga, Musa harus tampil dengan berani untuk meyakinkan bangsa Israel tentang rencana penyelamatan Tuhan Allah terhadap mereka. Konflik batin pertama yang dihadapi oleh Musa dan Harun, yaitu tantangan untuk mereformasi atau mengubah pola pikir bangsa Israel tentang suatu tanah atau tempat yang lebih menjanjikan dibandingkan di Mesir, yaitu Tanah Kanaan (bandingkan Keluaran 5:1-24 & 6:1-12).
Musa dan Harun bergumul dengan konteks Mesir dan pola pikir bangsa Israel. Usaha pertama ini mendapat respon yang positif dari bangsanya. Musa dan Harun, berhasil “memisahkan” bangsa Israel dari pola pikir perbudakan dan pengekangan hak asasi manusia oleh Firaun. Bangsa Israel akhirnya mau dibebaskan dari konsep dan konteks berpikir tentang “legalnya” perbudakan di Mesir menuju pada pembebasan sepenuhnya sebagai umat pilihan Allah.
Konflik batin kedua yang harus dilalui oleh Musa dan Harun, ialah upaya untuk meyakinkan Firaun sang penguasa Mesir. Upaya ini dimulai dengan himbauan dari Musa dan Harun kepada Firaun untuk membebaskan bangsa Israel, karena ini merupakan kehendak Tuhan Allah. Tulis Rosin, “Bukan karena kemauan sendiri melainkan menurut kehendak Tuhan, maka Musa dan Harun sekarang pergi menghadap takhta Firaun. Dan apa yang mereka katakan adalah perintah Tuhan. Dengan perantaraan mereka berkatalah Tuhan, Allah Israel. Ia tidak meminta, Ia menuntut. Ia tidak memohon, Ia memerintah.”5
Pada konflik ini, Musa berhadapan dengan konteks pola pikir dan kewilayahan Mesir. Harun yang fasih berbicara adalah sarana yang paling ampuh untuk mencuci otak Firaun, walaupun tidak semua keinginan mereka dipenuhi oleh Firaun. Harun adalah media untuk memisahkan pola pikir kolot dari konteks Mesir yang di dalamnya tertuang konsep perbudakan Firaun. Musa sendiri mengandalkan kuasa Tuhan lewat kesepuluh tulah yang dikehendaki Allah menjadi peringatan serius bagi Firaun (bandingkan Keluaran 7:14-11:9).
Melalui pelaksanaan kesepuluh tulah, Musa menghadapi konteks kewilayahan Mesir, karena jelas memaksa secara politis bagi Firaun untuk menanggalkan sikap keras kepala. Tulah menjadi sarana bagi Musa untuk mereformasi pola pemikiran Firaun. Musa akhirnya berhasil memisahkan bangsa Israel dari konteks lama, yaitu Tanah Mesir dan konsep lama, yakni perbudakan dan selanjutnya memimpin bangsa Israel untuk menyatu dengan konteks baru, yakni Tanah Kanaan dan konsep baru, yaitu keselamatan yang berasal dari Tuhan Allah.
Perjalanan umat Israel sebagai umat kesayangan Allah tidak berhenti sampai pada peristiwa eksodus. Pasca eksodus, umat Israel diperhadapkan dengan tantangan hidup yang baru, yakni bertahan dan membangun komunitas hidup di tengah-tengah padang gurun. Kembara mereka teruji ketika Tuhan menyatakan mukjizat-Nya di Mara dan di Elim. Suasana dahaga dan lapar membuat bangsa Israel bersungut-sungut, seakan-akan tidak percaya lagi akan tuntunan Tuhan Allah. Mereka pun juga dipuaskan dengan berkat roti dari sorga yang disebut Manna (Keluaran 16). Tidak hanya itu juga, di Masa dan di Meriba ketika semua bangsa berteriak meminta air, kembali Tuhan Allah melalui Musa melakukan perkara ajaib dengan memukul gunung batu Horeb, sehingga keluarlah air dari tempat tersebut. Inilah penyertaaan Tuhan Allah yang tidak pernah terlambat mengisi kekosongan hidup umat pilihan-Nya (Keluaran 17).
Musa dan Harun membangun banyak aspek kehidupan bangsa Israel sesuai dengan titah dari Tuhan Allah. Mulai dari peraturan tentang hidup sehari-hari, tingkah laku bermasyarakat, norma kekudusan dan aturan tentang persembahan disampaikan oleh Musa dan Harun agar dapat dijalankan oleh umat Israel sebagai standar utama menjalani kehidupan. Musa juga menyadari bahwa tugas dan tanggung jawabnya begitu besar dan kompleks, oleh sebab itu ia mengangkat para hakim dan pemimpin umat dari bagian-bagian puak Israel, sehingga tanggung jawabnya dapat terbagi dengan merata dan dapat dirasakan oleh semua umat.
Tidak dapat disangkal bahwa kompleksitas kehidupan bangsa Israel yang dinakhodai oleh Musa dan Harun akhirnya berbenturan juga dengan banyak masalah. Masalah yang muncul banyak dari ketidakpuasan umat tentang sandang, pangan atau papan yang mereka pandang sebagai kesejahteraan yang harus layak didapatkan. Tetapi pula, ada masalah yang bernada konflik antar para pemimpin umat. Masalah ini timbul disebabkan adanya faktor iri hati atau merasa dianggap enteng oleh pemimpin yang lain. Masalah ini yang justru cukup membuat Musa dan Harun berhati-hati dalam bertindak dan memutuskan sebuah jalan keluar. Mereka menyadari bahwa jika solusi yang dipilih tidak tepat, maka pasti orang-orang yang bermasalah itu akan tidak sejalan lagi dengan misi mulia dari Musa dan Harun.
Masalah kepemimpinan yang dihadapi oleh Musa dan Harun, dapat dikatakan sangat serius ketika mereka berhadapan dengan pemberontakan dari Korah, Datan dan Abiram (Bilangan 16). Ketiga orang ini tergolong para pemimpin umat yang memiliki prestise tersendiri bagi bangsa Israel. Menurut kitab Bilangan 16 : 2, “...semuanya orang-orang kenamaan”. Motif pemberontakan dari ketiga tokoh umat Israel ini adalah perasaan iri hati terhadap kepemimpinan Musa dan Harun. Mereka tidak dapat menerima kenyataan bahwa hanya Musa yang layak bertemu dan berbicara langsung dengan Tuhan Allah Israel.
Motif ini dipakai oleh Korah untuk menghasut dua ratus orang Israel dan para pemimpin lainnya agar bersama melakukan pemberontakan terhadap Musa. Sedangkan motif yang digunakan oleh Datan dan Abiram adalah pernyataan sikap tidak puas dengan janji Tuhan Allah lewat Musa dan Harun tentang kesejahteraan hidup mereka. Menurut mereka, Musa dan Harun telah mengelabui umat Israel, bahwa mereka akan dibawa ke suatu tempat yang lebih baik dari Tanah Mesir. Bagi Datan dan Abiram, suatu kondisi negeri di mana terdapat berlimpah-limpah susu, madu, ladang-ladang dan kebun anggur tidak dapat dipenuhi oleh Musa dan Harun.
Strategi yang digunakan oleh Musa dan Harun, yaitu melakukan pendekatan personal terhadap Korah, Datan dan Abiram. Penjelasan tentang maksud Tuhan Allah dan rencana agung-Nya bagi umat Israel adalah hal yang mungkin belum dipahami jelas oleh mereka. Akan tetapi, maksud baik dari Musa dan Harun ditolak mereka. Ketiganya bersikeras menolak Musa dan Harun sebagai pemimpin Israel. Dengan demikian, ketiganya telah menciptakan konflik internal di dalam tubuh umat Israel.
Mengatasi konflik ini, Musa meminta petunjuk dari Tuhan Allah. Musa menyadari bahwa segala daya upaya atau usaha pendekatan yang dilakukannya tidak berhasil, sehingga jalan keluar atau solusi terbaik hanya lewat keputusan ilahi. Keputusan yang sungguh-sungguh berada di atas keadilan dan tidak dapat dibantah oleh pihak manapun. Konflik yang akhirnya diputuskan melalui persidangan Tuhan Allah sendiri.
Akhir dari pemberontakan Korah, Datan dan Abiram ialah kebinasaaan hidup mereka. Peristiwa bumi dan tanah terbelah menyebabkan mereka tertelan hidup-hidup ke dunia orang mati, sungguh suatu kejadian tragis yang patut disesalkan (Bilangan 16:30-35). Peristiwa ini akhirnya menyelesaikan konflik dan memberi jawaban bagi bangsa Israel siapa sebenarnya yang kudus dan berkenan dalam pemandangan Tuhan Allah. Konflik yang dihadapi oleh Musa dan Harun adalah suatu riak dalam menjalankan proses kepemimpinan. Konflik yang sesungguhnya lahir dari suatu kondisi batin dan psikologis yang tidak mau menaruh kepercayaan terhadap kapasitas kepemimpinan dari Musa dan Harun. Konflik yang hadir oleh pertimbangan dan analisa yang keliru tentang kebenaran dan kekudusan Tuhan Allah.
Kesangsian akan yang Maha Kudus membuat Korah, Datan dan Abiram tenggelam dalam nafsu pemberontakan. Suatu pertimbangan dan kesimpulan yang salah, sehingga mereka akhirnya terpisah dari konsep penyelamatan Tuhan Allah. Konsep pemberontakan dari ketiganya, menggagalkan dan merusak hubungan intim mereka dengan Tuhan Allah sebagai Bapa leluhur nenek moyang mereka sejak dahulu kala. Mereka berpisah dengan konsep keselamatan dari Tuhan Allah dan bersatu dengan ketidakpastian idealisme dalam pemberontakan. Suatu pilihan hidup yang membawa pada kebinasaan. Suatu konflik yang harus berakhir tragis dan menyakitkan bagi keluarga Korah, Datan dan Abiram.

2.       Yesus Kristus Dalam Konflik menurut Perjanjian Baru      
Konflik di dunia perjanjian baru adalah suatu cerita sejarah yang mengambil banyak tempat dalam kehidupan umat percaya di zaman sekarang ini. Tokoh Perjanjian Baru yang dikenal dan dijadikan, yaitu Yesus Kristus Sang Juruselamat adalah sosok pribadi yang diakui sebagai Anak Allah yang hidup dan yang membawa damai ke dalam bumi. Tetapi juga, tokoh Yesus dipandang telah membawa konflik tersendiri bagi komunitas kekristenan awal, yaitu oleh kaum Yahudi. Kesaksian berita Perjanjian Baru telah mengundang banyak tanggapan kritis mengenai kehadiran Yesus Kristus dalam komunitas bangsa Yahudi. Adat dan tradisi Yahudi kerap kali berbenturan dengan jati diri Yesus yang penuh kehendak mulia untuk memberitakan makna kebenaran yang sesungguhnya tentang Kerajaan Allah.
Berkenaan dengan ketokohan Yesus, Albert Nolan (ahli Perjanjian Baru) berpendapat : “Peristiwa yang paling pasti mengenai Yesus dari Nazareth ialah bahwa Ia diadili, dihukum mati karena dianggap melakukan pengkhianatan dan hukuman itu dilaksanakan oleh prokurator Romawi bernama Pontius Pilatus. Ini tidak membuatnya istimewa. Beribu-ribu orang Yahudi revolusioner dan pemberontak dihukum salib oleh penguasa Romawi di Palestina pada zaman ini. Pada umumnya orang-orang Yahudi menentang pemerintahan Romawi, dan sebagaimana sudah kita lihat, sebagian dari mereka sangat bernafsu untuk menggulingkan pemerintah Roma dan menegakkan kembali kerajaan Israel. Yesus dianggap bersalah karena terlibat dalam komplotan seperti itu. Lebih lagi Ia menyatakan diri sebagai raja orang-orang Yahudi, pewaris takhta, atau yang oleh orang-orang Yahudi disebut Mesias.6
Seruan pertobatan dan kuasa mujizat Yesus dipandang sebagai praktek melawan arus kemapanan rohani dari para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Yesus yang melawan arus telah menyatakan konsep diri yang dinamis. Kedinamisan-Nya tampak pada saat Ia berusaha merombak budaya dan tradisi yang telah mengakar kuat, misalnya tentang stratafikasi masyarakat Yahudi. Orang-orang yang dikucilkan, yaitu para pemungut cukai menjadi obyek pelayanan Yesus dalam komunitas kekristenan pada waktu itu (bandingkan Lukas 18:9-14).7

Mungkin inilah keluhan yang paling serius dari para ahli Taurat dan orang Farisi, yakni sikap hidup-Nya untuk bergaul dengan para pemungut cukai. Mereka dianggap hina oleh orang Yahudi yang patriotik karena dianggap bekerja sama dengan penjajah, ditolak oleh kaum religius ortodoks karena bergaul dengan orang bukan Yahudi dan dibenci oleh khalayak ramai oleh karena pembayaran yang berlebihan yang mereka tuntut.8
Bagi Yesus, orang-orang yang ditolak oleh masyarakat itu membutuhkan pengampunan Allah dan mereka (Para ahli Taurat dan orang Farisi) mengetahui hal itu. Bagi orang-orang itulah Ia datang. “Orang-orang yang sehat tidak memerlukan dokter” (bandingkan Markus 2:17). Komunitas masyarakat yang selanjutnya mendapat perhatian dari Yesus, yaitu orang-orang Samaria karena perasaan iba yang begitu mendalam. Yesus tampil merombak tradisi kolot keyahudian yang memandang rendah komunitas ini. Tradisi kolot ini muncul dari teologi Yahudi yang menyatakan, bahwa semua orang bukan Yahudi akan masuk neraka, maka kesimpulan yang logis bagi kaum Yahudi ialah menolak berhubungan dengan bangsa lain lebih daripada yang diperlukan.9

Bagi Yesus soal ras, tidaklah penting. Manusialah yang penting, manusia yang membutuhkan pertolongan, manusia yang dapat diajak untuk membuat respons terhadap Allah. Pemahaman Yesus yang demikian, membuat kaum Yahudi menganggap Yesus merupakan duri dalam daging kebanggaan nasional Yahudi. Namun yang paling menyinggung perasaan Yahudi adalah cerita yang begitu dikenal, yakni perumpamaan tentang orang Samaria yang murah baik hati (Lukas 10:29-37). Perumpaan ini dijelaskan dan ditegaskan Yesus, bahwa melalui tindakan seorang Samaria pun dapat menunjukkan dirinya benar-benar sebagai seorang “sesama”.10

Yesus adalah pribadi aktif yang bergerak potensial menciptakan pembaharuan di dalam kulit konteks yang sama. Hal ini mengandung arti, bahwa konsep dan pemahaman secara total ditransformasi oleh Yesus, namun tidak mengubah atau berada di luar konteks yang berbeda. Konsep lama dibaharui dan konteks lama tetap dipakai sebagai sarana pembaharuan. Misalnya, tentang masyarakat Yahudi yang menilai para pemungut cukai sebagai musuh agama dan tradisi kolot keyahudian yang memandang hina orang Samaria, ditentang Yesus dengan sikap reformatif yang berlandaskan Kasih.
Ia tidak berada di luar konteks kemasyarakatan Yahudi. Akan tetapi, Yesus muncul dan mengadakan pembaharuan dalam konteks kehidupan orang-orang Yahudi, khususnya orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Dari tindakan pembaharuan yang Yesus lakukan, terlihat penekanan segi dinamis, yaitu perubahan gaya dan konteks berpikir masyarakat Yahudi yang menjadi misi utama Yesus untuk memisahkan diri dengan tradisi yang telah dibangun. Namun, hakekat untuk tetap menyatu dengan kondisi masyarakat setempat, tidak diabaikan-Nya. Dengan kata lain, Yesus berpisah dengan tradisi kolot Yahudi namun tetap bersatu dengan masyarakat Yahudi.
Allah yang dinamis dan Yesus yang transformatif  ibarat dua sisi pada mata uang logam. Sikap dinamis dan transformatif merupakan aplikasi dari pernyataan kehendak untuk berpisah dengan konsep lama menuju konsep baru, tetapi tetap hidup di dalam konteks yang sama. Wujud keharmonisan atau keselarasan nampak sebagai pemenuhan terhadap konsep baru yang  jelas berbeda dengan konsep lama. Pada prinsipnya, keselarasan merupakan upaya yang kadangkala harus dicapai dengan pengorbanan. Jelaslah bahwa dinamis dan selaras tidak berbeda dengan konsep berpisah untuk bersatu.
Yesus Kristus melalui seruan pertobatan dan kuasa mukjizat-Nya juga telah memproklamasikan hal yang sama. Mengubah konsep lama di dalam konteks baru keyahudian adalah proses berpisah namun tetap menyatu dengan konteks awal. Konflik pun tidak dapat terelakkan. Para ahli Taurat dan kumpulan orang Farisi memandang Yesus sebagai ancaman serius. Bahaya yang harus dibasmi dan dilenyapkan dalam stratafikasi masyarakat Yahudi. Faktanya, integritas Yesus tidak bergeming. Memilih untuk menghadang konflik, Yesus berarti telah berada dalam posisi menciptakan konsep pembaharuan pada sirkumstansi yang sama  dengan subyek sejarah yang sama pula.

3.       Martin Luther Sang Pembaharu Gereja
Martin Luther adalah seorang tokoh pembaharu Gereja yang sampai saat ini dikenang dan dikenal luas oleh banyak insan di berbagai denominasi Gereja karena kegigihannya sebagai peletak dasar-dasar baru dari refleksi yang benar tentang kebenaran Kitab Suci. Luther dilahirkan pada tanggal 10 November 1483 menjelang tengah malam di Langestrasse. Ayahnya Hans, pada mulanya adalah seorang petani kemudian beralih mata pencaharian sebagai seorang penambang. Ibunya Margaretha Lindemann adalah seorang ibu rumah tangga yang setia menopang pekerjaan suaminya. Luther adalah seorang teolog yang memiliki intelektual dan wawasan yang luas dan terbuka.11
Sebagai seorang sarjana teologi yang menyandang gelar Doktor dalam bidang Kitab Suci, ia memiliki komitmen tinggi untuk menyelidiki tulisan-tulisan alkitabiah yang dianggapnya menarik dan berhubungan dengan kisah hidupnya, misalnya kitab Mazmur, Roma dan I Korintus. Hasil dari telaah kritisnya dituangkan ke dalam beberapa tulisan dan yang paling termasyhur ialah tulisan berjudul “Tentang Kebebasan Seorang Kristen”. Luther pun senatiasa berusaha mengaplikasikan apa yang diperolehnya dari hasil penelitiannya tentang maksud Allah yang sesungguhnya dari bagian kitab yang telah diinterpretasinya dan juga hasil dari tulisannya.12    
Bersamaan dengan itu, Luther melakukan proses studi kemasyarakatan yang sasarannya mencari dan menemukan penyimpangan-penyimpangan sosial yang terjadi di dalam masyarakat pada waktu itu. Dalam tulisan Luther tersebut, ia menilai bahwa telah terjadi pembodohan terhadap nilai-nilai teologis dari para klerus dan uskup terhadap masyarakat luas. Masyarakat dijadikan sapi perah dengan mengeruk keuntungan-keuntungan rohani dari mereka. Praktek pembodohan itu secara nyata adalah melalui propaganda Indulgensia. Dogma Gereja dipolitisir sedemikian rupa, sehingga masyarakat yang adalah umat Gereja pada masa itu menganggap praktek indulgensia adalah murni suatu usaha mulia dari Gereja untuk keselamatan umatnya. Salah satu kaki tangan Paus dalam memuluskan program indulgensia tersebut adalah Johann Tetzel. Ucapan Tetzel yang terkenal ialah, “Kalau uang itu berdenting di dalam peti, melompatlah jiwa itu ke dalam sorga!”.13 
Tanggapan Luther atas pembodohan dari lembaga Gereja tersebut, adalah dengan menerbitkan suatu tulisan yang berisi beberapa kritikan keras. Salah satu kritikkannya yang memulai era reformasi Gereja di abad pertengahan, tepatnya pada tanggal 31 Oktober 1517, di mana Luther sendiri memakukan di pintu Gereja istana Wittenberg, tentang 95 dalil dalam bahasa latin yang menentang kebijakan Paus tentang surat penghapusan sikas. Kritikannya bertumpu pada kesaksian Alkitab yang sejalan dengan semboyan reformasinya, Sola Scriptura.14 
Kemapanan Luther yang terekspresi lewat keberaniannya menentang Indulgensia sebagai salah satu kebijakan Gereja di zamannya, merupakan suatu tindakan tegas yang lahir dari kajian kritis Alkitabiah berdasarkan terang Roh Kudus. Luther secara sadar telah mempertimbangkan dan memperhitungkan akibat terburuk dari sikap tegasnya melawan arus yang dibangun oleh kekuasaan Gerejawi. “Di dalam dirinya mengalir sebuah keyakinan, bahwa sampai saat ini, masih hidup dan memerintah Allah yang sama, yang melindungi Daniel dan kawan-kawan di dapur perapian Nebukadnezar... Untuk itu semoga Tuhan Yesus Kristus menguatkan aku!”.15
Keyakinan iman ini membawa Luther menjadi seorang tokoh reformator yang gigih dan tidak takut kehilangan nyawanya. Semakin ditekan oleh kekuasaan Gereja, semakin motivasi dan inspirasinya membara tak kunjung padam. Luther pun berjuang tanpa menghiraukan hambatan ataupun tantangan di sekelilingnya. Subyektivitas Luther terhadap masalah iman dan Tata Gereja diminimalisir oleh obyektivitasnya terhadap kebenaran Alkitabiah. Ada perimbangan antara perasaan ‘daging’ yang membawa ketakutan dengan perasaan ‘rohani’ yang menciptakan kekuatan yang dahsyat dalam diri Luther.
Modal integritas diri Luther yang begitu teguh, membuatnya menjadi single fighter dalam memerangi tirani Gereja. Ia berjuang di dalam konteks yang ekuivalen dengan Gereja Katolik, yakni konteks geografis benua Eropa abad pertengahan. Luther paham, bahwa di dalam konteks itu terjadi berbagai ketidakadilan dan penyimpangan sosial yang mencoreng martabat Gereja terutama nama agung Yesus Kristus, Sang Kepala Gereja. Oleh sebab itu, Luther bergumul di dalam konteks tersebut. Di sini menjadi jelas, bahwa Luther berusaha untuk tidak meninggalkan konteks yang telah dipengaruhi oleh konsep yang salah. Hanya dengan ia tetap berada dalam konteks itu, maka ia dapat memerangi konsep yang telah menjadi virus dalam konteks yang dimaksud.
Melaksanakan apa yang diyakini oleh Luther sebagai perjuangan memerangi tirani Gereja, maka Luther pun mau tidak mau harus berhadapan dengan konflik batin. Konflik batin yang dimaksud, ialah beberapa kali ia dirongrong oleh berbagai pihak yang sangat tidak setuju dengan semua pemikirannya yang (bagi mereka) radikal. Sebagai contoh, rongrongan serius yang dihadapi oleh Luther adalah ketika Paus Leo X mengeluarkan surat pengucilan terhadap diri dan tulisannya, sehingga Luther dicap sebagai seorang bidaah. Akan tetapi, hambatan yang serius ini disikapi Luther dengan tegar. Ia merasa yakin, bahwa Tuhan Allah tidak akan meninggalkan semua perjuangan yang telah dirintisnya untuk membangun era reformasi di segala aspek kehidupan bermasyarakat, terlebih khusus Gereja Tuhan di masa itu.

4.       Johannes Calvin Penerus Gelombang Reformasi Gereja
Calvin adalah penerus gelombang reformasi. Jiwa dan semangatnya sama dengan yang dimiliki oleh pendahulunya, Luther. Johanis Calvin, nama sebenarnya Jean Cauvin lahir pada tanggal 10 Juli 1509 di Noyon, Perancis Utara. Kemudian hari nama Cauvin, sesuai dengan kebiasaan di kalangan kaum berpendidikan waktu itu, dilatinisasikan menjadi Calvinus.16 Calvin berasal dari keluarga yang berada. Ayahnya sendiri, Gerard Cauvin berasal dari keturunan biasa-biasa saja, dari keluarga penambang perahu.17 Ia belajar di Universitas Paris, Orleans dan Bourges serta menjadi pengagum Erasmus dan Humanisme. Ia sendiri menghasilkan karya ilmiah Humanisme pada tahun 1532 (suatu uraian mengenai karya filsuf Romawi Seneca berjudul “Kemurahan Hati”), yang tidak berhasil membuat dampak yang diharapkannya.18
Keadaan benua Eropa, khususnya wilayah utara, sedang berada dalam pengaruh demam reformasi yang sangat besar. Aspek politik, sosial, ekonomi dan religius mengalami perubahan secara mendasar ketika paham reformasi diterapkan oleh para reformator di beberapa kota seperti, Augsburg, Basel, Bern, Colmar, Constance, Erfurt, Frankfrut, Jenewa, Hamburg, Lubeck, Memmingen, Ulm dan Zurich. Para reformator yang sama dengan Luther dan Calvin, yaitu Thomas Cranmer (Inggris), Ulrich Zwingli (Swiss) dan Martin Bucer (Strasburg), seakan-akan digerakkan secara simultan dan militan tanpa pernah berkata ‘menyerah’ untuk menyebarluaskan paham baru yang menjanjikan bagi situasi Eropa Utara, yakni reformasi.19
Calvin bertobat secara tiba-tiba dan mengabdikan hidup pelayanannya hanya kepada Kristus. Calvin tampil sebagai tokoh reformator disebabkan oleh pengaruh kuat dari rekannya, Guillaume Farel. Kiprahnya bersama Farel dimulai dari Jenewa,  Swiss. Sebuah kota yang pada waktu itu baru saja menerima pengaruh dari paham reformasi. Kota Jenewa dalam roda pemerintahannya dikuasai oleh suatu badan normatif yang disebut, Dewan Kota. Badan ini berhak secara absolut untuk menentukan arah dan kebijakan bagi kehidupan dan kesejahteraan hidup seluruh penduduk kota Jenewa.20
Calvin menjadi Pendeta di Jenewa sejak tahun 1536 sampai tahun 1538. Karena kekritisannya terhadap pemerintahan Gereja, ia tidak lagi disukai oleh Dewan Kota, sehingga menyebabkan dirinya harus diasingkan. Calvin selanjutnya menempuh studi di Basel. Pada tahun 1540, Dewan Kota Jenewa meminta Calvin untuk kembali melayani di sana, sebab situasi Gereja dan kemasyarakatan semakin memburuk. Pada tahun 1541, Calvin kembali ke Jenewa. Ia melakukan reformasi besar-besaran terhadap sistem tata krama dan keagamaan sampai pada aturan tentang cara berpakaian dan larangan berdansa. Usaha Calvin ini menimbulkan pro dan kontra dalam Dewan Kota. Tetapi pada akhirnya, Calvin mendapat banyak dukungan dari para Dewan Kota karena usaha pembaharuannya di Kota Jenewa membuahkan hasil yang sangat memuaskan.21
Usaha reformasi yang diterapkan Calvin di Kota Jenewa adalah akumulasi berimbang dari aspek konteks dan konsep. Alhasil, Calvin berhasil menerapkan suatu pola pembaharuan yang tidak hanya mengubah wajah Gereja tetapi yang terpenting, ialah mengubah secara total norma dan perilaku kemasyarakatan di kota tersebut. Calvin menerapkan konsep baru yang benar-benar Alkitabiah, yaitu reformasi di bawah terang Kristus, untuk mengganti konsep lama yang keliru, yakni munculnya paham idealisme liberalis dalam Gereja dan pemerintah.22
Keprihatinan Calvin terhadap konteks dimana ia bergumul yaitu Jenewa, membuat ia mendapat tantangan yang terbilang sangat berat, misalnya dari Dewan Kota yang memandangnya sebagai seorang ‘pengacau’ terhadap sistem yang sedang berjalan sehingga ia harus diasingkan ke Basel. Pengasingannya di Basel telah menjustifikasi Calvin berkonflik dengan subyek konteks majemuk, dalam hal ini Dewan Kota, yang berperan di Jenewa. Posisi Calvin sebagai subyek konteks tunggal membuat dirinya mengalami suatu situasi konflik batin dan individual yang cukup menekan eksistensinya.23
Perjuangan Calvin untuk melakukan pembaharuan di Jenewa tidak hanya berhenti pada usaha untuk mengubah konsep yang telah menjangkiti konteks secara geopolitis. Tetapi lebih luas lagi, yaitu Calvin berupaya mengembalikan tradisi-tradisi adat dan kebudayaan awal yang pernah tumbuh di Jenewa, yang pada zamannya sebagai Pendeta di sana, telah mengalami dekandensi yang cukup serius. Calvin berjuang untuk merestorasi kembali segenap nilai-nilai luhur yang pernah membudaya di Jenewa. Menurutnya, tradisi dan nilai kebudayaan tersebut adalah jawaban atas kebobrokan Gereja di waktu itu, karena di dalamnya terkandung pemahaman Alkitabiah yang relevan dengan konteks kehidupan masyarakat Jenewa.

Refleksi     
Prinsip dasar kekristenan tidak melulu memutlakkan kedamaian dan ketenangan menjadi garansi terbaik dalam menjalani kehidupan. Paling penting untuk disadari, ialah intisari luhur dari falsafah kekristenan. Intisari yang dimaksud adalah suatu rangkaian perjumpaan dengan nilai-nilai agung yang telah diteladankan oleh Yesus Kristus, ketika hidup dan berkarya di dunia ini. Dengan kata lain, kekristenan itu dinamis dan merupakan gambaran utuh atas sebuah petualangan panjang kehidupan seorang insan menuju kekekalan di dalam Dia, Sang Pemilik Hidup. Inilah tantangan menjadi seorang Kristen.
Tantangan  tidak perlu dirasakan terlalu berat atau sulit, melainkan tantangan  harus dihadapi dengan senyum dan hati tulus. Singkatnya, seorang Kristen sejati harus siap sedia menghadapi konflik untuk mempertahankan idealisme sesungguhnya tentang prinsip keselamatan yang benar di dalam Yesus Kristus. Dibenci, difitnah, dihina, dikucilkan, dianggap pemberontak, dicap sok’ suci, dizalimi dan bahkan pengorbanan nyawa menjadi konsekuensi terberat yang setidaknya pernah dialami oleh mereka yang pernah berjuang demi tegaknya salib Kristus di Bumi ini. Tokoh Musa, Luther dan Calvin adalah sedikit sampel keteladanan dari mereka yang pernah berjuang demi tegarnya eksistensi Gereja Tuhan sampai dewasa ini. Namun, kita perlu menggarisbawahi, yaitu dari dan oleh inspirasi ketiga tokoh tersebut, telah lahir tokoh Musa, Luther dan Calvin masa kini yang siap sedia menghadang konflik demi keutuhan Gereja Tuhan dan terutama mereka semua yang hidup berdampingan dengan kita. Biarlah kuat dan kharisma Roh Kudus senantiasa menguatkan kita. Yakinlah!

Daftar Pustaka :
Barth, Christoph. Theologia Perjanjian Lama I. Jakarta: Gunung Mulia: BPK Gunung Mulia, 1988
Dankbaar, W. F. Calvin (Djalan Hidup dan Karjanja). Djakarta: BPK Gunung Moelia, 1967
France, R. T. Yesus Sang Radikal (Potret Manusia Yang Disalibkan). Jakarta:  BPK Gunung Mulia, 2004
Halverstadt, Hugh F. Mengelola Konflik  Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002
David F. Hinson, David F. Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000) 
Kooiman, W. J. Martin Luther: Doktor Dalam Kitab Suci Reformator  Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001
Lane, Tony. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001
McGrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002
Nolan, Albert OP. Yesus Sebelum Agama Kristen: Warta Gembira Yang Memerdekakan. Yogyakarta: Kanisius, 1992
Pandopo, H. A. Luther (Si Bulbul Dari Wittenberg) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983
Rosin, H. Tafsiran Keluaran: Pasal 1-15. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987
Wright, Christopher J. H. Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.




* Dosen Sejarah Gereja pada Fakultas Teologi UKIT
1 Hugh F. Halverstadt,  Mengelola Konflik Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hal. 7
2 H. Rosin, Tafsiran Alkitab: Keluaran pasal 1-15 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), hal. 39
3 C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hal. 109
4 Christopher J. H. Wright,  Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hal. 20
5 Rosin, Op.Cit., hal. 75
6 Albert Nolan SP, Yesus Sebelum Agama Kristen: Warta Gembira yang Memerdekakan (Yogyakarta: Kanisius,1992), hal.127
7 R. T. France, Yesus Sang Radikal: Potret Manusia Yang Disalibkan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004) hal. 75
8 Ibid.
9 Ibid. hal. 76-77
10 Ibid. hal. 77-79
11 H. A. Pandopo, Luther (Si Bulbul Dari Wittenberg) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), hal. 8, 12, 15
12 W. J. Kooiman, Martin Luther: Doktor dalam Kitab Suci Reformator Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hal. 32, 81
13 Ibid. hal. 46
14 Ibid. hal. 51
15 Ibid. hal. 96
16 Christiaan de Jonge, Apa itu Calvinisme? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hal. 6-7
17 W. F. Dankbaar, Calvin (Djalan Hidup dan Karjanja) (Djakarta, BPK Gunung Moelia, 1967), hal. 9
18 Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hal. 149
19 Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia,  2002), hal. 22
20 Dankbaar, Op.Cit., hal. 41
21 Ibid., hal. 43-45
22 Ibid., hal. 42-43
23 Ibid., hal. 49-50

0 komentar :

Labels

Recent news

About Us

Fakultas Teologi UKIT (Jln. Raya Tomohon Kakaskasen) Telp. (0431) 351081, Fax (0431) 351585