Facebook Twitter Google RSS

Rabu, 23 Februari 2011

Wacana dan Formalisasi Syariat Islam dalam Konteks Masyarakat Multikultural Indonesia

ADMIN    22.21  No comments


Exodus - No. 2 Tahun XVII, 2010
 

 

Oleh Denni H.R. Pinontoan


Pendahuluan* 
Indonesia, secara sosiologis adalah negara yang beragam dari segi Suku, Agama, Ras serta Golongan (SARA).1 Istilah akademisnya, Indonesia adalah negara multikultural. Secara objektif, Islam adalah agama yang penganutnya terbesar. Tapi, Islam di Indonesia tidak tunggal. Di dalam dirinya, Islam terdiri dari beragam kelompok pemikiran dan gerakan. Dalam dinamika politiknya, Islam di Indonesia memperlihatkan adanya pertentangan-pertentangan, terlebih khusus dalam hal hubungan antara Islam dengan politik (negara). Bagi kelompok Islam konservatif, negara Indonesia haruslah berdasar pada Syariat Islam. Sementara menurut kelompok Islam kebangsaan (nasionalis), dasar negara Indonesia adalah Pancasila, sebuah dasar hukum dan pandangan hidup yang dihasilkan dari pergumulan atas kemajemukan nusantara sejak negara ini berdiri.

Dalam konteks sekarang ini, formalisasi syariat Islam berupa Peraturan Daerah (Perda) serta Undang-undang (UU) yang ditengarai mengandung Syariat Islam telah memunculkan diskusi hangat bahkan polemik, baik di kalangan kelompok-kelompok Islam sendiri, maupun dalam konteks diskusi publik terkait dengan kemajemukan Indonesia. Menurut laporan Wahid Institute, fenomena  terbitnya Perda dan UU yang mengandung Syariat Islam muncul  terutama sejak era  reformasi bergulir 1998.2 Menurut Wahid Institute, sejak awal tahun 2000-an,  isu  formalisasi agama begitu menyeruak ke publik. Perdebatan  soal munculnya  sejumlah Perda – yang sering disebut Perda Syariat Islam— muncul di mana-mana. Memang, sepanjang tahun 2008 perda-perda bernuansa agama tidak lagi banyak diproduksi.

Mengutip Robin L. Bush, menurut Wahid Institute, sampai tahun 2008, setidaknya telah lahir minimal 78 Perda bernuansa agama, di 52 kabupaten dan kota di seluruh wilayah Indonesia. Ini belum termasuk Surat Keputusan Bupati, Walikota dan Gubernur ataupun draf  Perda yang belum diputuskan oleh DPRD.3

Wacana dan penerapan formalisasi syariat Islam berupa Perda, UU dan peraturan-peraturan pemerintah lainnya, berimplikasi pada kerawanan pada hubungan dan situasi masyarakat multikultural Indonesia. Tulisan ini, bermaksud mendeskripsikan fenomena formalisasi Syariat Islam di Indonesia yang ternyata bukan nanti terjadi di era reformasi, melainkan sudah sejak negara ini bediri. Wacana dan gerakan formalisasi Syariat Islam oleh kelompok-kelompok Islam tertentu hingga sekarang ini memperlihatkan sebuah situasi yang tidak kondusif berkembangannya hubungan-hubungan yang baik antar individu dan institusi agama serta budaya yang beragam di Indonesia.

A.    Wacana dan Aspirasi Syariat Islam di Indonesia
Ribuan umat Islam di Jakarta, Semarang dan Surabaya pada 24 Oktober 2004 mendesak tegaknya Syari’at Islam dan khilafah (sistem pemerintahan Islam). Di Jakarta, pada hari itu, sedikitnya 15 ribu umat Islam yang tergabung dalam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)[1] menggelar aksi damai di depan Istana Negara, Jl Merdeka Utara Jakarta. Mereka membawa spanduk bertuliskan tegakkan syari’at Islam serta pengumpulan tanda tangan mendukung diberlakukannya syari’at  Islam yang dibentangkan di spanduk panjang.

Dalam demo itu, masa HTI menyampaikan tuntutannya, yaitu, bahwa sistem pemerintahan yang diridhoi Allah yaitu khilafah bukan sistem lainnya. Kedua, konstitusi yang diwajibkan oleh Allah bagi kaum muslimin yaitu yang digali dari Alquran, Assunnah, Ijma dan qiyas para sahabat, bukan konstitusi buatan manusian.4

Front Pembela Islam (FPI)[2], juga termasuk salah satu ormas Islam yang menuntut formalisasi syari’at  Islam lewat pemberlakuan kembali Piagam Jakarta. Pada tanggal 5 Agustus 2002, FPI mengadakan aksi unjuk rasa ke Gedung MPR/DPR Senayan, menuntut dicantumkannya syari’at  Islam dalam amandemen UUD 1945. Ketua Umum FPI Al Habib Muhammad Rizieq Shihab dalam orasinya membagi partai politik dalam dua jenis, yaitu partai Allah dan partai Setan. Partai Allah adalah partai yang mendukung syari’at  Islam sebagai hukum Allah, sedangkan partai setan sebaliknya. 5

Selain HTI dan FPI, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)6, juga termasuk salah satu ormas Islam yang getol memperjuangkan syari’at Islam dalam konstitusi negara.7 Bahkan, pada tanggal 22 Februari 2007, melalui Abu Bakar Ba'asyir sebagai Amir Majelis MMI, mereka nekat ke Istana Presiden Jakarta. Ba'asyir menawarkan syari’at Islam sebagai salah satu solusi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Ba’asyir yang waktu itu bersama Ketua MMI Fauzan Al Ansori serta sekitaran 30 orang anggota MMI datang ke istana bermaksud mendesak Presiden SBY untuk mengeluarkan dekrit pemberlakuan syari’at  Islam di Indonesia. Teknisnya, menurut MMI, Presiden bisa membentuk Mahkamah Syari’at.8

Menurut Ahmad Shidqi ada tiga alasan kenapa MMI memperjuangkan syari’at  Islam:

Pertama, alasan aqidah (ideologis), di mana setiap muslim yang lurus aqidahnya pastilah menginginkan berlakunya syari’at  Islam sebagai konsekuensi logis dari pengakuannya sebagai muslim sehingga mereka terbebas dari bencana dan malapetaka, kehancuran dan kebinasaan sebagai firman Tuhan dalam Alquran surat Al-Ahzab ayat ke 36.

Kedua, alasan historis, di mana perjalanan sejarah umat Islam sejak zaman Rasulullah hingga khulafah al-Rasyidun dan khalifah-khalifah sesudahnya, yang mereka itu para tabi’in dan salafus salih hingga akhir runtuhnya Khalifah Ustamaniyah di bawah Sultan Abd Hamid II tahun 1924. Mereka semua hidup dalam sistem Islam, yaitu khilafah dengan tetap menjaga wihdatul ummah (kesatuan umat secara global) dan wihdatul imamah (kesatuan kepemimpinan secara global), sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surat al-Mu’minun, ayat ke-52 dan 53.

Ketiga, alasan realitas zaman, yakni berencana dengan kenyataan hidup masa kini dengan munculnya era globalisasi yang justru diwarnai dengan krisis multidimensional yang berkepanjangan maka saatnya umat Islam dituntut lebih berani menawarkan mutiara al-Qura’an dan al-Hadits dengan tanpa ragu dan minder demi mengatasi segala macam problema yang menimpa umat manisia dengan mengikuti perintah Allah dalam surat Ali Imran ayat ke-139.9
Tuntutan terhadap formalisasi syari’at Islam dengan pemberlakuan kembali Piagam Jakarta tak hanya getol diperjuangkan oleh ormas-ormas Islam, tapi juga partai-partai politik berideologikan Islam. Dalam empat kali Sidang Tahunan Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR), dari tahun 1999 sampai 2002,10 wacana mengembalikan Piagam Jakarta dalam Undang-udang Dasar 1945 menjadi pembicaraan hangat dalam sidang-sidang tersebut. Ada tiga partai berbasis Islam yang gigih memperjuangkannya, yaitu Partai Bulan Bintang (PBB)11, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Daulah Ummah (PDU). Dalam empat kali pembahasan amandemen UUD 1945 tersebut pokok diskusi yang cukup alot dan krusial dibicarakan oleh anggota sidang adalah Pasal 29:1 UUD 1945 yang berbunyi: ”Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.12 Ketiga perwakilan partai tersebut sudah sejak Sidang Tahunan Pertama pada tahun 1999 mengajukan proposal untuk memasukan ”tujuh kata”13 Piagam Jakarta14 dalam amandemen pasal 29:1 UUD 1945.

Fraksi PBB melalui juru bicaranya, Hamdan Zoelva, dalam rapat Komisi A MPR yang membahas amandemen ketiga UUD 1945 di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, 6 Agustus 2002 menegaskan, penambahan kata syari’at  Islam bukan berarti lantas mengubah dasar negara. Sementara Fraksi PDU dan Fraksi PPP melalui juru bicaranya masing-masing menambahkan, bahwa masuknya Piagam Jakarta dalam UUD 1945 tak akan menimbulkan disintegrasi dan gejolak sehingga tidak perlu dikhawatirkan.15

Tapi Najib Ahjad dari PBB sempat berujar:                 

 ”Saat ini kami sedang berada di depan sebuah tembok besar yang tak bisa ditembus, tapi tidak akan menyerah....Kami bersumpah di hadapan Allah dan umat Islam bahwa kami akan terus berjuang.16
Syariansyah dari PPP juga mengatakan:

...sebagai sebuah partai Islam, PPP akan terus memperjuangkan syariah dengan cara yang demokratis, yaitu melalui MPR sebagai badan pembuat konstitusi. PPP akan terus berupaya meyakinkan fraksi-fraksi lain untuk mengikuti syariah.17
Artinya, meski tuntutan mereka ditolak dalam Sidang Tahunan tersebut, tapi usaha untuk menformalisasi syari’at Islam dalam konstitusi negara akan terus menjadi bagian dari perjuangan partai-partai tersebut.
Namun sebetulnya, dalam sejarah Indonesia perdebatan soal formalisasi syari’at Islam dalam kaitan dengan dasar negara telah dimulai sejak negara ini berdiri, yaitu sejak tahun 1945 dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai 16 Juli 1945.18 Dalam sidang ini terjadi perdebatan yang alot soal dasar negara. Kelompok Islam19 berusaha menjadikan dasar negara Indonesia merdeka berdasar pada syari’at Islam. Sementara kelompok nasionalis kebangsaan berpendirian bahwa urusan agama dan negara harus dipisahkan. Dasar dari kelompok Islam, bahwa karena penduduk beragama Islam di Indonesia adalah mayoritas dan telah mengakar, maka adalah suatu keharusan untuk mendirikan Indonesia atas dasar syari’at  Islam.

Perdebatan yang alot antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis kebangsaan diakhiri dengan terbitnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, hasil kerja dari Panitia Sembilan. Namun, Piagam Jakarta ini batal menjadi bagian dari konstitusi Indonesia merdeka, karena pada tanggal 18 Agustus 1945 terjadi perubahan dalam pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945 yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Berikut, mengikuti pentahapan Boland tentang usaha-usaha formalisasi syari’at Islam dalam sejarah Indonesia, periode perang kemerdekaan yang berlangsung tahun 1945 sampai 1950 adalah juga penting untuk ditengok lagi kaitan dengan perdebatan dasar negara. Boland menulis:

”Semua kekuatan umat Islam harus dipusatkan dalam Masyumi20, ’untuk membela kemerdekaan agama, negara, dan bangsa. Agama yang dimaksud dalam rumusan ini sudah tentu Islam, yang dirasakan orang telah diserang bersamaan dengan serangan-serangan terhadap Republik.”21
Meski tidak ada perbedaan yang mencolok antara Partai Islam dengan Partai Nasionalis di periode ini karena semua kelompok terkosentrasi pada usaha mempertahankan kemerdekaan, namun agaknya kemenangan Partai Masyumi dalam Pemilu tahun 1955 bermula dari kekuatan yang terpusat kepadanya di masa ini.22 Effendy berkomentar: ”Dengan Masyumi yang dibentuk pada tahun 1945, sebagai wakil politik mereka satu-satunya, kelompok Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang besar.”23

Sejak tahun 1950 sampai 1959, konstitusi Indonesia berdasar pada UUD 1950. Di tahun 1955 diadakan Pemilu. Di masa kampanye, Partai Masyumi menyampaikan gagasan-gagasannya untuk menjadikan syari’at Islam sebagai dasar negara. Menurut catatan Effendy, salah satu yang memicu kembali konflik ideologis antara kelompok nasionalis dengan kelompok Islam adalah penegasan Presiden Soekarno yang merepresentasi kelompok nasionalis untuk menfinalkan Pancasila dan menolak pemberlakuan negara berdasar asas Islam.24

Setelah Pemilihan Umum, dimulailah sidang-sidang konstituante. Dalam pembahasan soal dasar negara, kembali lagi mengemuka perdebatan lama, yaitu negara Pancasila atau negara Islam yang bersamaan dengan itu muncul lagi perdebatan tentang Piagam Jakarta. Dalam sidang itu, penolakan terhadap kelompok Islam (Partai Islam), tidak hanya datang dari kelompok nasionalis, misalnya Partai Nasionalis Indonesia (PNI) sebagai partai pemenang pemilu masa itu,  namun juga datang dari partai-partai Kristen, yaitu Parkindo dan Partai Katolik.

Perdebatan ini terjadi secara alot. Untuk mengatasi perdebatan ini, jalan yang ditempuh adalah melalui voting. Tapi, voting ternyata tidak berhasil memperoleh suara mayoritas 2/3 dari keseluruhan anggota konstituante. Maka, sidang konstituantepun buntu. Untuk mengatasi masalah ini, maka sidang majelis konstituante diberhentikan pada tanggal 2 Juni 1959. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekano mengeluarkan Dekrit Presiden, yang intinya membubarkan Konstituante dan kembali pada UUD 1945 serta Pancasila sebagai dasar negara. Menariknya, di dalam konsideran dekritnya yang kelima dinyatakan bahwa Presiden yakin bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai Undang-udang Dasar 1945 dan dihubungkan menjadi satu kesatuan dengan UUD tersebut.25

Wacana formalisasi syari’at  Islam untuk menjadi bagian dari konstitusi negara kembali mengemuka dalam Sidang-sidang Tahunan Amandemen UUD 1945 selang tahun 1999 sampai 2002. Dalam ingatan historis kelompok Islam, bahwa Piagam Jakarta tak pernah dibatalkan secara konstitusi, apalagi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menegaskan kesatuan antara UUD 1945 dengan Piagam Jakarta. Selain karena ingatan historis dan motivasi politiknya, usaha-usaha memasukan Piagam Jakarta dalam konsitusi negara di era reformasi usaha ini juga dirasa mendapat legitimasi secara teologis, seperti pendapat-pendapat yang dikemukakan baik oleh pemimpin atau aktivis ormas-ormas Islam, mapun partai-partai Islam.

Wahid Institute melaporkan, latar belakang fomalisasi syariat Islam dalam regulasi, aturan serta hukum di Indonesia tidak tunggal. Namun, jika dipetakan ada beberapa konteks pergumulan  Islam dan kebangsaan  yang bisa disebut, yaitu:25 Pertama,  ada keyakinan  yang  sangat mendalam pada diri umat Islam bahwa Islam adalah agama paling sempurna. Ia tidak hanya terkait urusan ukhrawi, tapi juga politik-duniawi. Adagium yang paling terkenal adalah Islam dîn wa daulah.

Kedua, adanya kegelisahan di kalangan (sebagian) umat Islam mengenai demoralisasi masyarakat. Moral masyarakat yang semakin rusak antara lain disebabkan semakin jauhnya masyarakat dari agama. Karena itu, untuk memperbaiki kerusakan moral, tidak ada cara lain kecuali menerapkan moralitas agama melalui regulasi pemerintah.

Ketiga,  Islam  adalah  agama  yang  dipeluk mayoritas  bangsa  ini.  Sebagai  agama mayoritas tidak ada salahnya jika Islam mewarnai regulasi-regulasi pemerintah. Selama pemerintahan Orde Baru, umat Islam yang mayoritas itu dipinggirkan secara politik. Karena itu, ketika situasi politik dimungkinkan aturan-aturan Islam merangsek menjadi aturan pemerintahan. Keempat, hukum yang berlaku di Indonesia sebagian besar warisan kolonial. Hal ini menjadi salah  satu  beban  sebagian masyarakat  Islam. Kolonial  bukan  saja menjajah,  tapi  juga  dianggap sebagai representasi kaum kafr. Dan, hukum kolonial ini dianggap gagal menyelesaikan problem sosial. Karena itu, sudah saatnya Islam dan segala perangkat ajarannya mewarnai hukum di negeri ini.

Kelima, secara konstitusional  tidak ada  larangan ajaran dan hukum  Islam menjadi hukum negara. Bahkan, hal ini dianggap sebagai bagian dari penegakan konstitusi yang di dalamnya menjamin setiap umat beragama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya. Dalam kaitan ini, penegakan aturan dan hukum Islam menjadi bagian dari ajaran Islam. Karena itu, kalau ada orang yang menghalang-halangi penegakan aturan dan hukum Islam, mereka dianggap menghalang-halangi penegakan konstitusi.

Keenam, konteks di atas semakin menguat ketika otonomi daerah diberlakukan. Dalam UU No. 32 tahun 2004, pasal 136 (ayat 3) disebutkan bahwa pemerintah daerah diberi kewenangan untuk membuat perda yang dianggap menjadi kekhasan wilayah itu. Dengan kata “kekhasan”  itulah banyak daerah kemudian merumuskan kekhasannya masing-masing dimana  “Islam” juga dianggap sebagai bagian dari kekhasan itu. Di  luar  itu, ada beberapa konteks yang sifatnya  lebih spesifk. Pertama,  faktor sejarah dan budaya lokal. Tumbuhnya berbagai perda bernuansa agama (Islam) ada hubungannya dengan daerah-daerah yang memiliki sejarah dengan DI/TII, meski tidak semua demikian. Faktor sejarah ini terkait juga dengan upaya sebuah daerah untuk mencari identitas. Kedua,  daerah-daerah  yang memiliki  potensi  korupsi  tinggi,  sehingga  bisa  diprediksikan bahwa perda atau kebijakan tersebut sebagai bagian dari upaya menutupi korupsi yang dilakukan oleh para politisi, baik di eksekutif maupun legislatif. Ketiga, pengaruh politik lokal, terutama yang terkait dengan perebutan kekuasaan. Hal ini terjadi ketika seorang politisi ingin menyalonkan diri sebagai kepala daerah atau seorang incumbent hendak mencalonkan diri lagi menjadi calon kepala daerah periode berikutnya. Maka salah satu alat untuk menarik para pemilih adalah dengan menawarkan diterapkannya perda-perda bernuansa agama.
Keempat, ketidakmampuan  para politisi dalam menyusun  sebuah  peraturan dan  tiadanya visi untuk menyejahterakan masyarakat, sementara di lain pihak adanya kesempatan politik yang luas dan kekuasaan yang cukup untuk membuat berbagai peraturan. Tiadanya kemampuan untuk menggali  isu-isu  strategis untuk menyejahterakan  rakyat dan  lemahnya kemampuan untuk menyusun sebuah peraturan tentang pemerintah yang baik (good governance), lalu menjadikan referensi agama sebagai sesuatu yang penting untuk dijadikan aturan.

B.      Syariat Islam dalam Konteks Masyarakat Multikultural Indonesia
Realitas negara Indonesia yang tidak hanya majemuk dari segi agama, tapi juga dari segi suku, ras dan golongan adalah realitas yang mestinya tidak boleh diabaikan dalam pewacanaan syari’at  Islam dan Piagam Jakarta untuk menjadi bagian dari konstitusi negara. Penolakan kelompok nasionalis kebangsaan dan kelompok agama non Islam, memberi indikasi adanya kekhawatiran diskriminasi kelompok mayoritas dalam hal ini Islam yang mendapat legitimasi dari negara.26

Dari kalangan Islam nasionalis, seperti halnya Hasyim Muzadi dan Abdurahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur, merespon keinginan kuat dari kelompok Islam pro syari’at Islam dan Piagam Jakarta dengan memberi pendapat yang mencoba mengingatkan betapa kenyataan Indonesia yang majemuk mestinya juga harus diperhatikan dalam menanggapi wacana formalisasi syariah Islam dan Piagam Jakarta.

Muzadi berpendapat, bahwa nilai-nilai bangsa, termasuk landasan negara tidak boleh diubah. Dia menilai ada bahaya perpecahan jika UUD 1945 diubah dengan dimasukannya Piagam Jakarta dalam batang tubuh (Pasal 29). Gus Dur menilai usaha memasukan Piagam Jakarta dalam UUD 1945 bertentangan dengan semangat Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 yang memberi pijakan yang sama kepada semua rakyat Indonesia. Dia bahkan dengan tegas mengatakan, jika Piagam Jakarta menjadi bagian dari konstitusi maka umat Islam akan mendapat sesuatu yang lebih, dan dengan demikian menjadikan umat beragama lain sebagai warga negara kelas dua.27

Menarik apa yang diungkap oleh sejumlah tokoh Islam, antaranya Nurcholish Madjid, dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafi'i Ma'arif di tahun 2000 dalam merespon perdebatan tentang usaha-usaha memasukan Piagam Jakarta dalam konstitusi. Dalam siaran pers mereka, dikatakan bahwa otonomi agama haruslah dihormati oleh negara. Campur tangan negara dalam pelaksanaan syari’at agama tertentu, akan menimbulkan bahaya terhadap otonomi tersebut. Menurut penilaian mereka, campur tangan semacam ini akan menimbulkan sejumlah distorsi atas pelaksanaan agama itu sendiri, dan politisasi agama untuk tujuan-tujuan sesaat partai yang sedang (atau ingin) berkuasa. Usul semacam ini juga mengandung bahaya terhadap integrasi bangsa yang saat ini sedang mengalami ancaman dari segala sudut. 28

Ada tiga alasan yang mereka kemukakan terkait sikap penolakan ini: Pertama, pencantuman piagam ini akan membuka kemungkinan campur tangan negara dalam wilayah agama yang akan mengakibatkan kemudaratan baik bagi agama itu sendiri maupun pada negara sebagai wilayah publik. Ketaatan pada agama adalah cerminan dari kebebasan pribadi yang tidak bisa diatur-atur oleh institusi eksternal seperti negara. Pelaksanaan syari'at yang diatur oleh negara akan menimbulkan bahaya hipokrisi, karena ketaatan pada syari'at yang disebabkan oleh paksaan negara hanyalah merupakan ketaatan yang semu belaka. Agama, pada intinya, harus menjadi wilayah yang otonom dari negara.

Kedua, dimasukkannya tujuh kalimat itu akan membangkitkan kembali prasangka-prasangka lama dari kalangan luar Islam mengenai "Negara Islam" di Indonesia. Prasangka ini, jika dibiarkan kembali berkembang, akan dapat mengganggu hubungan-hubungan antar kelompok yang pada ujungnya akan menimbulkan ancaman disintegrasi. Kesatuan nasional haruslah menjadi keprihatinan semua pihak ketimbang kepentingan sempit golongan tertentu.
Ketiga, dimasukkannya tujuh kalimat itu berlawanan dengan visi negara nasional yang memperlakukan semua kelompok di negeri ini secara sederajat. Jika kewajiban melaksanakan syari’at Islam menjadi suatu ketetapan dalam konstitusi, maka hal itu akan menimbulkan tuntutan yang sama pada kelompok-kelompok agama yang lain. Jika hal ini dibiarkan, maka sudah pasti akan ada gesekan-gesekan antar umat beragama yang akan mengancam kesatuan nasional.29

Reaksi terhadap bergulirnya wacana formalisasi syariat Islam di sidang-sidang tahunan tersebut juga mengemuka di Sulawesi Utara pada tahun 2000. Bulan Agustus tahun 2000 sekelompok tokoh pemuda, adat serta masyarakat yang menggagas forum Kongres Minahasa,30 memberi ultimatum kepada MPR dalam ST (sidang tahunan) tahun 2000 itu. Disepakati dalam kongres itu bahwa jika MPR dalam ST itu mengamandemen UUD '45 dengan memasukan Piagam Jakarta ke dalamnya, tanah Toar Lumimuut31 akan merdeka. Salah satu point deklarasi dalam kongres tersebut adalah:

Jika keinginan untuk membatalkan komitmen Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus dan UUD 1945 diluluskan atau bahkan dikompromikan sedikit pun, maka pada saat yang sama eksistensi NKRI (Negera Kesatuan Republik Indonesia) berakhir.

Pada saat itu juga rakyat Minahasa terlepas dari seluruh ikatan dengan ke-Indonesia-an dan berhak membatalkan komitmen ke-Minahasa-an dalam ke-Indonesia-an. Dengan demikian, maka rakyat Minahasa berhak menentukan nasibnya sendiri untuk masa depannya.32

Reaksi keras ini menunjukkan bahwa Piagam Jakarta telah menimbulkan sesuatu yang kontroversi bagi masyarakat Indonesia. Penolakan yang bukan hanya datang dari kelompok agama, melainkan juga dari kelompok-kelompok adat atau budaya mengindikasikan kerawanan Piagam Jakarta bagi keberagaman kultur di Indonesia. Sebab, negara Indonesia dalam realitasnya adalah multikultur. Maka, sudah seharusnya dikembangkan paradigma beragama yang multikuluralis, dengan berpijak pada sikap dan paradigma multikulturalisme. Di tengah arus perjuangan menjadikan Piagam Jakarta sebagai bagian dari konstitusi, Indonesia agaknya berada dalam ketegangan antara sikap dan paradigma yang monokulturalisme  dengan kenyataan yang multikultur. Dalam sejarah politik Indonesia, wacana Piagam Jakarta dalam realitas Indonesia yang multikultur sering saling bersitegang.

Microsoft Encarta Reference Library 2005 mendefinisikan “multicultur” sebagai, “lebih dari satu budaya: yang berkaitan, yang terdiri dari, atau berpartisipasi dalam budaya dari berbagai negara, kelompok etnis, atau agama.”33 Atau juga, ”mendukung integrasi: advokasi atau mendorong integrasi dari orang-orang dari berbagai negara, kelompok etnik, dan agama ke dalam semua aspek masyarakat.”34

Dalam definisi lain, istilah multikulturalisme pada umunya merujuk pada penerimaan berbagai bagian budaya untuk kepentingan keragaman yang berlaku untuk susunan penduduk pada tempat tertentu, biasanya pada skala organisasi seperti sekolah, bisnis, lingkungan, kota atau bangsa.35
Jelasnya, simak penjelasan Ahmad Suaedy berikut:

Multikulturalisme boleh dikatakan sebagai sikap dan perlakuan berdasarkan persamaan dan kesederajatan terhadap realitas plural dan keberbagaian. Berbeda dengan pluralisme dan keberbagaian, misalnya, yang lebih cenderung terbatas pada pengakuan atas realitas tersebut, multikulturalisme lebih dari sekadar pengakuan dan – mungkin penerimaan terhadap kelompok lain, melainkan multikulturalisme adalah sikap dan perlakuan kesederajatan atas pluralitas dan keberbagaian itu.
Karena itu, multikulturalisme tidak hanya menuntut sikap perorangan dan komunitas atas individu dan komunitas lain. Melainkan multikulturalisme juga menuntut adanya implementasi dalam kebijakan oleh mereka yang sedang berkuasa atau para pengambil keputusan.
................................................................................................
Multikultualisme memang berhubungan langsung dengan kesamaan dan kesederajatan semua warga bangsa di depan undang-undang dan hukum dalam suatu negara. Dan tentu saja berkaitan langsung dengan keadilan pula.[3]
Multikulturalisme lebih menunjuk pada adanya sebuah sikap penerimaan dan penghargaan terhadap pluralitas kultur untuk hidup bersama dalam suatu ruang, demi mencapai tujuan bersama. Lebih daripada pluralisme, multikuturalisme adalah juga menyangkut usaha-usaha atau kebijakan-kebijakan kelompok masyarakat atau negara untuk melestarikan kehidupan yang sederajat dalam kepelbagaian.[4]

Dalam kerangka berpikir seperti ini, maka wacana untuk menjadikan Piagam Jakarta sebagai bagian dari konstitusi negara dari kelompok-kelompok tertentu menyuratkan sebuah persoalan yang menarik untuk dikaji. Telah banyak literatur dari para sarjana dengan berbagai macam pendekatan studi di Indonesia baik dari luar maupun dari dalam negeri yang mengkaji pokok persoalan ini. Namun, menarik lagi untuk dikaji adalah menyangkut semangat-semangat keagamaan atau dasar-dasar teologis dari para pejuang Piagam Jakarta tersebut. Berikut, menarik juga ditelaah secara kritis tentang keberadaan Piagam Jakarta ini dalam realitas Indonesia yang multikultur. Kontroversi wacana syari’at Islam dalam perdebatan-perdebatan baik di wilayah politis maupun sosial keagamaan, mengindikasikan sebuah permasalahan dalam ruang yang multikultur, dalam hal ini Indonesia.

Sebab, negara sejatinya adalah ruang bagi yang berbeda untuk hidup dalam kesederajatan. Negara juga bertanggung jawab untuk menjaga yang berbeda itu dapat hidup secara damai dan adil. Namun, di lain pihak ideologisasi syari’ah Islam dalam konstitusi negara, tentu akan membawa konsekuensi diskriminasi pada ”yang lain”, yaitu kelompok-kelompok minoritas baik agama, suku, ras dan golongan. Karena dengan dijadikannya syari’at Islam berdiri bersama-sama dengan konstitusi negara yang berlaku untuk semua, maka dalam prakteknya akan membawa konsekuensi pada penunggalan rujukan pandangan dan praktek hidup. Padahal, sekali lagi realitas Indonesia adalah multikultur, yang mestinya memberi kebebasan kepada yang saling berbeda itu untuk mengekpresikan nilai dan identitas kebudayaan, kepercayaan dan keyakinan agamanya masing-masing, dan tak perlu dikontrol dalam satu hukum negara yang didominasi oleh satu keyakinan atau nilai agama saja.
Maka, perjuangan dari kelompok-kelompok Islam tertentu untuk menjadikan Piagam Jakarta bagian dari konstitusi negara sebagai implementasi dari cita-cita mendirikan negara Islam di Indonesia adalah persoalan dalam masyarakat multikultural Indonesia. Selain itu, hal ini juga juga menggambarkan belum adanya kontekstualisasi pemahaman keagamaan dalam realitas Indonesia multikultur. Paradigma dan praktek beragama yang seperti ini hanya kemudian melahirkan benturan-benturan, dan menutup interaksi aktif atau kerjasama dalam melestarikan kehidupan bersama.

C.      Penutup
Wacana dan aspirasi serta aksi memperjuangkan formalisasi syariat Islam secara faktual dikembangkan dan dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu dalam Islam di Indonesia. Islam adalah agama yang jumlah pemeluknya terbanyak di Indonesia. Namun, sebagaimana realitas negara ini majemuk dari segi agama dan budaya, Islam juga demikian. Terdiri dari beragam kelompok yang muncul karena perbedaan dalam menafsir sumber-sumber hukum dan pengajaran seperti Al Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, fenomena munculnya wacana dan gerakan formalisasi Syariat Islam, secara objektif harus diposisikan sebagai persoalan perbedaan pemahaman dan penafsiran dalam Islam sendiri. Namun demikian, secara faktual fenomena ini juga telah berimplikasi pada kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam atau majemuk, baik dari segi agama, budaya maupun aspirasi politik.

Perspektif multikulturalisme memahami fenomena ini sebagai persoalan bersama dalam konteks beragama dan bernegara. Dengan demikian, kajian yang komprehensif yang melibatkan perspektif keragaman agama, budaya dan aspirasi adalah pendekatan yang perlu dikembangkan dalam usaha memahami fenomena formalisasi Syariat Islam tersebut.

Secara objektif pula harus diakui bahwa wacana dan gerakan formalisasi syariat Islam ke dalam Perda, UU ataupun beragam produk hukum negara adalah persoalan yang mengancam kemajemukan Indonesia. Makanya,  studi agama-agama yang menggunakan hasil-hasil studi dari berbagai disiplin ilmu sangatlah penting dalam rangka memetakan dan juga merefleksikan wacana dan gerakan formalisasi syariat Islam dalam konteks masyarakat multikultural Indonesia.


Kepustakaan
Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Dan Sejarah Konsesus Nasional Antara Nasional Islami dan Nasionalis ”Sekuler” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959. Jakarta: Gema Insani Press, 1986.
Aritonang, Jan S., Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK, 2004.
Bahar, Saafroedin, el.al. (eds.)., Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei – 22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995
Boland, B.J., Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972, terj. Saafroedin Bahar. Jakarta, Grafiti Pers, 1985.
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, terj. Ihsan Ali-Fauzi. Paramadina: Jakarta, 1998.
Indrayana, Denny, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran. Bandung: Mizan Pustaka, 2007
Kymlicka, Will, Kewargaan Multikutural, terj. F. Budi Hardiman. Jakarta: Pusataka LP3ES, 2002.
Shidqi, Ahmad, Tuhan di Dunia Gemerlapku: Sebuah Buku Reportase. Yogyakarta, Kanisius, 2008.
Turmudi, Endang dan Sihbudi, Riza, (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2005.
Utomo, Bambang Ruseno, Hidup Bersama di Bumi Pancasila: Sebuah Tinjauan Hubungan Islam dan Kristen di Indonesia. Malang: Pusat Studi Agama dan Kebudayaan, 1993.
Wahid, Abdurahman, (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2009.

Dokumen/Tesis
Ahmad Suaedy, ”Islam dan Multikulturalisme”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Agama dan Multikulturalisme; Pengalaman Indonesia-Kanada, di Kartika Chandra Ballroom, Jakarta,10 Maret 2005.
Yusak Nugraha Anwari Langi, ”Usaha-usaha Memasukan Piagam Jakarta ke dalam UUD NKRI: Sebuah Tinjauan Etis Teologis Kristiani Terhadap Usaha Partai Bulan Bintang untuk memasukan Piagam Jakarta ke dalam UUD NKRI,” (Tesis, Program Pasca Sarjana Teologi Magister Theologiae, Fakultas Teologi UKDW Yogyakarta, 2003).
Wahid Institut, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Beragama dan Berkayakinan/Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2008

Internet dan Kliping Koran:
http://www.fpi.or.id.
http://www.jpnn.com
http://www.ethnologue.com
http://id.wikipedia.org
http://hizbut-tahrir.or.id/.
Berita, ”Hizbuh Tahrir Tuntut Syari’at  Islam” dalam http://swaramuslim.net/, dilansir 25 Oktober 2004.
http://majelismujahidin.wordpress.com
Berita, “Pasal 29 Dibawa ke Lobi”, dalam http://www.suaramerdeka. com/harian/0208/07/ nas5.htm, Rabu , 7 Agustus 2002.
Berita, ”Tokoh Islam Tolak Piagam Jakarta”, dalam  http://detik.com/, edisi Kamis, 10 Agustus 2000
Berita, ” Ba'asyir ke Istana Presiden Tuntut Syari’at  Islam”, dalam http://www.detiknews.com, edisi  Kamis, 22 Februari .
Berita, ”Peringati Milad, FPI Tuntut Pemberlakuan Syari’at  Islam”, Kompas, Selasa, 6 Agustus 2002.
Manado Post, 7 Agustus 2000
”Multicultur”, “Multiculturalism”, Microsoft ® Encarta ® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation.
“Multiculturalism”, http://en.wikipedia.org/wiki/Multiculturalism.



* Dosen Studi Agama-agama pada Fakultas Teologi UKIT

1 Hasil survey BPS menyebutkan bahwa Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa (http://www.jpnn.com). Jumlah ragam bahasa di Indonesia adalah 726, terdiri dari 719 bahasa lokal/daerah (masih aktif digunakan sampai sekarang), 2 bahasa sekunder tanpa penutur asli, dan 5 bahasa tanpa diketahui penuturnya (http://www.ethnologue.com).  Mengenai agama, selain enam agama “resmi” yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, juga terdapat banyak agama asli dan aliran kepercayaan yang masih hidup di berbagai daerah. Jumlah pulau di Indonesia menurut data Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004 adalah sebanyak 17.504 buah. 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama (http://id.wikipedia.org).

2 Wahid Institut, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Beragama dan Berkayakinan/Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2008), hlm. 21-30.

3 Ibid.

[1] HTI adalah organisasi transnasional Islam yang merupakan bagian dari organisasi Hizbuh Tahrir yang berdiri pada tahun 1953 di Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina. Gerakan yang menitik beratkan perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah ini dipelopori oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama alumni Al-Azhar Mesir, dan pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina. Hizbuh Tahrir telah berdiri di beberapa negara, yaitu seluruh negara Arab di Timur Tengah, termasuk di Afrika seperti Mesir, Libya, Sudan dan Aljazair. Juga ke Turki, Inggris, Perancis, Jerman, Austria, Belanda, dan negara-negara Eropah lainnya hingga ke Amerika Serikat, Rusia, Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan Australia. Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan (informasi selengkapnya tentang HTI dapat dibaca pada situs organisasi ini: http://hizbut-tahrir.or.id/).

4 Berita, ”Hizbuh Tahrir Tuntut Syari’at  Islam” dalam http://swaramuslim.net/, dilansir 25 Oktober 2004 (download 5 Agustus 2009) Lihat juga Abdurahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), hal. 154.

[2] FPI dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 di halaman Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, di Selatan Jakarta oleh sejumlah Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim dan disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerah Jabotabek. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja sama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar di setiap aspek kehidupan. FPI menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya yang kontroversial sejak tahun 1998. Terutama yang dilakukan oleh laskar paramiliternya yakni Laskar Pembela Islam. Rangkaian aksi penutupan klab malam dan tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat maksiat, ancaman terhadap warga negara tertentu, penangkapan (sweeping) terhadap warga negara tertentu, konflik dengan organisasi berbasis agama lain adalah wajah FPI yang paling sering diperlihatkan dalam media massa. Profil lengkap FPI dapat dilihat pada situs mereka: http://www.fpi.or.id.

5 Berita, ”Peringati Milad, FPI Tuntut Pemberlakuan Syari’at  Islam”, Kompas, Selasa, 6 Agustus 2002.

6 Di dalam situs MMI: http://majelismujahidin.wordpress.com disebutkan, Majelis Mujahidin adalah lembaga yang berdiri tanggal 7 Agustus 2000 M, melalui Konggres Mujahidin I yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 5-7 2000. MMI berpusat di Yogyakarta dengan Perwakilannya di seluruh wilayah Indonesia dan luar negeri. Tujuan dari organisasi ini adalah untuk bersama-sama berjuang menegakkan Syari’ah Islam dalam segala aspek kehidupan, sehingga Syari’ah Islam menjadi rujukan tunggal bagi sistem pemerintahan dan kebijakan kenegaraan secara nasional maupun internasional. Hal ini secara tegas tertuang dalam visi MMI, yaitu demi tegaknya Syari’at Islam dalam kehidupan umat Islam.

7 Tentang pandangan MMI mengenai syari’at  Islam lihat Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005), hal. 248-258.

8 Berita, ” Ba'asyir ke Istana Presiden Tuntut Syari’at  Islam”, dalam http://www.detiknews.com, edisi  Kamis, 22 Februari 2007 (download, 11 Agustus 2009).

9 Ahmad Shidqi, Tuhan di Dunia Gemerlapku: Sebuah Buku Reportase, (Yogyakarta, Kanisius, 2008), hal. 73 dan 74.

10 Perubahan pertama, Sidang Tahunan MPR yang berlangsung pada tanggal 14-21 Oktober 1999, perubahan kedua,  dalam  Sidang Tahunan MPR 2000, yang berlangsung dari tanggal 7-18 Agustus 2000, perubahan ketiga dalam Sidang Tahunan MPR 2001, yang berlansung dari tanggal 1-9 November 2001 dan perubahan keempat  dalam Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002.

11 Khusus mengenai tuntutan PBB ini lihat Yusak Nugraha Anwari Langi, ”Usaha-usaha Memasukan Piagam Jakarta ke dalam UUD NKRI: Sebuah Tinjauan Etis Teologis Kristiani Terhadap Usaha Partai Bulan Bintang untuk memasukan Piagam Jakarta ke dalam UUD NKRI,” (Tesis, Program Pasca Sarjana Teologi Magister Theologiae, Fakultas Teologi UKDW Yogyakarta, 2003).

12 Denny Indrayana., Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), hal. 322.

13 ”Tujuh Kata” Piagam Jakarta yang dimaksud dalam tesis ini berbunyi: ”...dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Di depan tujuh kata ini ada kata ”Ketuhanan.” Disebut ”Tujuh Kata” Piagam Jakarta, karena kalimat inilah yang menjadi bagian dari Piagam Jakarta, yang telah disiapkan oleh Panitia Sembilan pada tanggal 22 Juni 1945 dalam rangkaian Sidang Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai naskah Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) Indonesia merdeka.

14 Istilah ”Piagam Jakarta” atau ”the Jakarta Charter” pertama kali digunakan oleh Muhamad Yamin. Lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Dan Sejarah Konsesus Nasional Antara Nasional Islami dan Nasionalis ”Sekuler” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, (Jakarta: Gema Insani Press, 1986), hal. 32.

15 Berita, “Pasal 29 Dibawa ke Lobi”, dalam http://www.suaramerdeka. com/harian/0208/07/ nas5.htm, Rabu , 7 Agustus 2002 (Download 4 Agustus 2009).

16 Indrayana, op.cit., hlm. 324.

17 Ibid.

18 Lengkapnya jalan persidangan lihat Saafroedin Bahar, el.al. (eds.)., Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei – 22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995).

19 Endang Saifuddin Anshari, dalam bukunya Piagam Jakarta 22 Juni 1945... menggunakan istilah ”Kelompok Islam Nasionalis” untuk menunjuk pada tokoh-tokoh Islam anggota BPUPKI yang getol memperjuangkan formalisasi syari’at  Islam dalam konstitusi negara. Sementara buku-buku yang lain hanya menggunakan ”Kelompok Islam” untuk menunjuk pada hal yang sama. Misalnya B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972, terj. Saafroedin Bahar, (Jakarta, Grafiti Pers, 1985): Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, terj. Ihsan Ali-Fauzi, (Paramadina: Jakarta, 1998).

20 Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi adalah sebuah partai politik yang berdiri pada tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta. Partai ini didirikan melalui sebuah Kongres Umat Islam pada 7-8 November 1945, dengan tujuan sebagai partai politik yang dimiliki oleh umat Islam dan sebagai partai penyatu umat Islam dalam bidang politik. Masyumi adalah bentukan Jepang yang merupakan federasi empat organisasi Islam pada masa Jepang, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia. Masyumi semasa Jepang didirikan untuk mengganti Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI). MIAI didirikan pada tanggal 21 September 1937 sebagai federasi organisasi-organisasi Islam di Indonesia. Tentang MIAI dan Masyumi lihat Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK, 2004), hlm. 187 dan 220.

21 Boland, op.cit., hlm. 47.

22 Hasil penghitungan suara dalam Pemilu 1955 Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu, dengan berhasil memperoleh suara sebanyak 7,9 juta suara atau 20,9% dari jumlah total suara. Dari pemilu 1955 ini, Masyumi mendapatkan 57 kursi di parlemen. Lihat “Majelis Syuro Muslimin Indonesia”. dalam  http://id.wikipedia.org/  (download 11 Agustus 2009).

23 Effendy, op.cit., hlm. 92 dan 93.

24 Ibid., hlm. 103 dan 104.

25 Bambang Ruseno Utomo, Hidup Bersama di Bumi Pancasila: Sebuah Tinjauan Hubungan Islam dan Kristen di Indonesia, (Malang: Pusat Studi Agama dan Kebudayaan, 1993), hlm. 51 dan 52.

25 Wahid Institute, op.cit., hlm. 24.25

26 Aspirasi kelompok Islam memperjuangkan formalisasi syari’at  Islam dan Piagam Jakarta dalam konstitusi negara dalam Sidang-sidang BPUPKI (1945), sidang-sidang Majelis Konstituante (1956-1959 dan Sidang-sidang Tahunan Amandemen UUD 1945 (1999-2002) selalu direspon dengan penolakan atau tanggapan kritis dari kelompok nasionalis kebangsaan dan kelompok non Islam. Lihat misalnya, Anshari, op.cit., hl, 55-58; Bahar, el.al. (eds.); Indrayana., hlm. 323.

27 Indrayana., op.cit., hlm. 323.

28 Berita, ”Tokoh Islam Tolak Piagam Jakarta”, dalam  http://detik.com/, edisi Kamis, 10 Agustus 2000.

29 Ibid.

30 Forum Kongres Minahasa itu turut dihadiri Wakil Gubernur FH Sualang, Bupati Minahasa Drs Dolvie Tanor, mantan walikota dan walikota Manado Ir LH Korah dan Wempy Fredrik, dan pejabat sementara Walikota Bitung Drs L Gobel. Kongres tersebut dipandu tujuh tokoh pemuda dari Minahasa, yaitu Pnt Hanny VP Pua, Pdt David Tulaar, Pdt Feybe Lumanauw, Ir Vicktor Rompas, Pstr DR John Montolalu, Pdt Narwasty Karundeng dan Pdt Wempy Kumendong. Tim ini didampingi utusan-utusan mewakili 7 sub-etnis yang ada di Minahasa. Ke tujuh utusan itu adalah Tombulu, Tonsea, Tolour, Tonsawang, Tontemboan,, Ratahan dan Bantik. Mereka itu yakni Pdt Prof DR WA Roeroe, Mayjen Pur CJ Rantung, Prof DR EA Sinolungan, Jotje Koapaha, Drs Freddy Rorimpandey serta Dolfie Maringka. (Manado Post, 7 Agustus 2000).

31  Istilah kultural untuk Tanah Minahasa.

32 Berita, “Kongres Minahasa ultimatum MPR: Piagam Jakarta Diterima, Minahasa Merdeka”, Manado Post, edisi 7 Agustus 2000.

33 ”Multicultur”, “Multiculturalism”, Microsoft ® Encarta ® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation. “ of more than one culture: relating to, consisting of, or participating in the cultures of different countries, ethnic groups, or religions.”

34 Ibid. “Supporting integration: advocating or encouraging the integration of people of different countries, ethnic groups, and religions into all areas of society”.

35 “Multiculturalism”, http://en.wikipedia.org/wiki/ Multiculturalism, (Download 12 Agustus 2009).

[3] Ahmad Suaedy, ”Islam dan Multikulturalisme”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Agama dan Multikulturalisme; Pengalaman Indonesia-Kanada, di Kartika Chandra Ballroom, Jakarta,10 Maret 2005.

[4] Ulasan yang komprehensif tentang multikulturalisme lihat Will Kymlicka, Kewargaan Multikutural, terj. F. Budi Hardiman, (Jakarta: Pusataka LP3ES, 2002).

0 komentar :

Labels

Recent news

About Us

Fakultas Teologi UKIT (Jln. Raya Tomohon Kakaskasen) Telp. (0431) 351081, Fax (0431) 351585