Facebook Twitter Google RSS

Kamis, 17 Desember 2015

Belajar Kasih Natal dari Panti

ADMIN    02.55  No comments

Belajar Kasih Natal dari Panti
oleh: Denni Pinontoan

ANAK-anak perempuan dan laki-laki itu duduk hampir terlentang tak berdaya di atas kursi roda. Sesekali terdengar suara-suara tak jelas keluar dari mulut mereka. Tangan dan kaki yang  kurus lemah, hampir tak dapat digerakkan. Bola-bola mata yang bening memandang kosong ke langit-langit ruangan itu. 
Beberapa perempuan dewasa sedang menyuapi mereka. Mereka para pengasuh yang merawat anak-anak ini. Di bagian pinggir ruangan ranjang berbentuk box berwarna coklat teratur rapih. Bilik-bilik kamar terdapat ranjang serupa. Di situlah anak-anak ini merebahkan tubuhnya yang lemah.
Anak-anak ini adalah penghuni Panti Asuhan Sayap Kasih yang terletak  di Kel. Woloan III, Kota Tomohon. Panti ini didirikan oleh br. Han Gerritse CSD, seorang missionaris Katolik dari Belanda. Sejak tahun 1980-an ia sudah melayani di Woloan. Tahun 2000 seorang perempuan Belanda bernama Michelle Borsboom memberikan bantuan untuk pengadaan fasilitas gedung panti.
“Penghuni panti asuhan kami ini semuanya anak-anak yang berkebutuhan khusus. Lemah secara fisik dan mental,” bruder Martin direktur Panti Asuhan itu menerangkan. 
Jumlah anak penghuni panti asuhan ini 20 orang. Mereka dari latar yang berbeda-beda, baik asal maupun agama. Usia mereka dari 5 sampai 20-an tahun.
Panti Asuhan Sayap Kasih bernaung di bawah  Yayasan Manuel Runtu. Yayasan ini berdiri tahun 1985.
“Nama yayasan ini diambil dari nama seorang tokoh awam Katolik asal Woloan bernama Manuel Runtu,” ujar bruder Berchman, pengurus yayasan itu. 
Manuel Runtu adalah seorang guru. Bruder Berchman menceritakan, di masa pendudukan Jepang Manuel Runtu berperan melayani pastor-pastor asal Belanda yang ditawan. Sesudah masa pendudukan Jepang, Manuel Runtu menjadi kepada sekolah di SD I Woloan. Sesudah pensiun, ia diminta untuk menjadi guru di Seminari Kakaskasen. Manuel Runtu meninggal tahun 1976.

KAMIS, 17 Desember 2015, civitas Fak. Teologi UKIT YPTK-GMIM gelar ibadah Natal Yesus Kristus di panti itu. Dosen, mahasiswa, pegawai dan beberapa alumni bersama-sama dengan anak-anak dan pengasuh panti menghayati makna kelahiran Yesus Kristus. Ibadah dirancang secara kreatif untuk mengajak civitas Fak. Teologi UKIT refleksikan makna kelahiran Yesus dalam konteks kini. 
Refleksi Natal dalam bentuk drama.  Para pemeran dari kalangan mahasiswa. Mereka mementaskan macam-macam karakter manusia berhadapan dengan persoalan-persoalan kemanusiaan. Salah satunya terhadap individu atau kelompok yang tidak berdaya secara fisik dan mental. Drama itu menampilkan karakter khas agamawan, politisi maupun akademisi yang hanya pinter dalam konsep dan pernyataan-pernyataan tapi tidak dilanjutkan dengan tindakan nyata. 
“Dengan melaksanakan ibadah Natal Yesus Kristus di panti asuhan ini, civitas diharapkan dapat menghayati makna kasih, solidaritas dan kepedulian terhadap sesama manusia yang tidak berdaya dalam tindakan nyata,” kata Sekretaris Panitia Kemerlien Ondang. Ketua panitia perayaan dipercayakan kepada Pdt. G.E.W. Kumaat. 
Dekan Fakultas Teologi UKIT Pdt. Lientje Kaunang dalam sambutannya mengatakan, ibadah perayaan Natal Yesus Kristus tahun ini sangat berkesan dan bermakna karena dirayakan di sebuah panti asuhan yang dihuni anak-anak berkebutuhan khusus. “Kami boleh belajar dari pengasuh yang mempraktekkan kasih dan kesabaran dalam merawat anak-anak panti yang butuh perhatian penuh,” kata Pdt. Lientje Kaunang. 
Sebelum ibadah di mulai, saya berbincang dengan Pdt. Martin Supit. Ia dosen etika di fakultas. Kami diskusi kecil tentang gereja dan kepedulian serta solidaritas kemanusiaan. 
“Di alkitab kita membaca mengenai kewajiban untuk peduli pada manusia-manusia lemah. Namun, gereja-gereja protestan terutama, lebih sibuk dengan kemewahan gedung gereja dan kekokohan institusi,’ ujar Pdt. Martin. 
Datang beribadah di panti asuhan semacam ini, mestinya tidak hanya seremonial atau sekadar pencitraan. Justru kita dapat belajar dari kehidupan, baik para pengasuh maupun keberadaan anak-anak panti itu.
“Kita dapat belajar dari pemberian diri para pengasuh panti. Mereka tidak hanya sekadar bekerja sebagai pengasuh atau perawat anak-anak. Tapi saya lihat mereka memang mencintai anak-anak tak berdaya ini,” lanjut Pdt. Martin. 
Anak-anak ini juga sepertinya merefleksikan mengenai hakekat kasih itu. “Mereka mungkin tak kenal siapa pengasuhnya atau kita yang datang ini. Mereka tak dapat membalas perhatian dan pemberian kita. Rupanya, mereka mengajari kita bagaimana mempraktekkan kasih agape itu, seperti kasih Yesus,” balasku. 
PULANG ke rumah usai ibadah di panti itu, saya menumpang mobil yang dikendarai Pdt. Jonely Lintong. Ia dosen agama-agama di Fakultas Teologi dan PPsT UKIT. Juga berminat pada studi-studi sejarah gereja. 
“Coba kita perhatikan cara-cara orang Katolik. Mereka benar-benar memprektekkan panggilan gereja itu,” ujar Pdt. Lintong.
Dia melanjutkan, panggilan itu tidak terutama urusan institusi tapi juga umat atau warga gereja. Banyak yayasan pendidikan dan sosial Katolik yang didirikan oleh pribadi-pribadi. Tapi karena mereka menghayati itu bagian dari panggilan gereja, maka mereka sebagai warga gereja berinisiatif untuk melakukan tugas panggilan itu secara individual atau komunitas, katanya. 
Saya membandingkan dengan gereja-gereja Protestan, terutama Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Bukan untuk ikut-ikutan atau menciplak. Tapi sudah seharusnya begitu hakekat dan fungsi gereja. Tapi, prakteknya sangat berbeda sekali dengan gereja Katolik.
Tugas panggilan gereja itu sepertinya harus menjadi urusan lembaga. Lihat saja, sepertinya tidak dibolehkan oleh sinode bagi warga jemaat untuk mendirikan yayasan sosial atau pendidikan yang dikelolanya sendiri atau kelompok dengan menggunakan nama GMIM. Kalau sudah menggunakan nama GMIM di belakang atau di depan nama yayasan, maka itu sudah harus menjadi kewenangan institusi. Sekarang, bahkan usaha-usaha profit juga ikut dibentuk dan diurus langsung oleh sinode. Padahal, usaha sejenis sebenarnya menjadi sumber pendapat warga jemaat. Bukannya mendorong, memberdayakan agar warga jemaat lebih aktif dan mandiri, malah sebaliknya gereja menjadi tukang kontrol dan pesaing. 

0 komentar :

Labels

Recent news

About Us

Fakultas Teologi UKIT (Jln. Raya Tomohon Kakaskasen) Telp. (0431) 351081, Fax (0431) 351585