Facebook Twitter Google RSS

Rabu, 18 Februari 2009

“Pemberian Diri Penuh Waktu”

ADMIN    19.10  4 comments


Pdt. Dr. A.F. Parengkuan, M.Th., Rayakan 34 Tahun Menjadi Pendeta

Oleh: Denni Pinontoan

Suasana kampus Fakultas Teologi UKIT, pagi itu tampak seperti biasanya. Yang lain, hanyalah soal kecerian para staf dan dosen yang datang pagi-pagi. Maklum, hari ini adalah awal minggu yang baru. Hari itu, Senin 16 Februari 2009. Tak ada yang tahu, bahwa bagi salah satu dosen di Fakultas Teologi ini, tanggal 16 Februari adalah tanggal yang special. Dosen yang mengenang betul tanggal itu adalah Pdt. Dr. Arnold F. Parengkuan, M.Th. Mengapa?

Nanti ketika para dosen dan staf berkumpul dan duduk-duduk manis di ruang dosen, baru jelas, bahwa ternyata Pdt. Parengkuan sedang berbahagia dan bersyukur, mengingat hari itu, di 34 tahun yang lalu, dia ditahbiskan menjadi pendeta GMIM. “Hari ini adalah hari yang istimewa bagi salah seorang dosen dan rekan kerja kita, yaitu Pdt. Parengkuan, mengingat tepat pada hari ini, masa pelayanan Pdt. Parengkuan sebagai pendeta genap berusia 34 tahun,” ujar Pdt. Lintje Pangaila-Kaunang yang memandu acara syukuran yang diselenggarakan dengan penuh kesederhanaan di pagi itu.

Mensyukuri berkat tersebut, Pdt. Marthin Supit, yang adalah teman kelas waktu kuliah Pdt. Parengkuan diminta untuk memimpin doa syukur atas kebahagian yang sedang dirasakan oleh Pdt. Parengkuan. Dalam doanya, Pdt. Supit berterima kasih kepada Tuhan karena penyertaannya sehingga telah bersama-sama dengan Pdt. Parengkuan selama 34 tahun pelayanan di jemaat. Dan memohon kiranya juga Tuhan akan memberkati segala usaha pemulihan kesehatan dari Pdt. Parengkuan, baik perawatan medis, maupun pelayanan keluarga.

Selesai menyanyi dan berdoa, Pdt. Parengkuan didaulat untuk menyampaikan ungkapan hati terkait dengan pengalaman pelayanannya selama 34 tahun ini. Dalam ungkapan hatinya tersebut, sejumlah kesan dalam melaksanakan pelayanan terasa betul memberi motivasi dan harapan baru dalam dunia pelayanan.

Usai acara itu, saya menemui Pdt.Parengkuan di salah satu ruangan di Fakultas. Beberapa kesan pengalaman pelayanannya diungkapnya dengan serius, seserius ketika beliau berkhotbah atau juga mengajar di kelas-kelas kuliah sejarah. ”Saya ditabhiskan sebagai pendeta di Jemaat Pakuure, wilayah Tengah pada 16 Februari 1975 oleh Pdt. Wiliam. Langi, yang waktu itu sebagai wakil ketua Badan Pekerja Sinode GMIM,” ujarnya mengawali percakapan itu.

Cerita Pdt. Parengkuan, yang dia ingat dari jemaat tempatnya menjalani masa vikariat sampai diteguhkan menjadi pendeta, adalah panjang desa itu. ”Yang saya ingat betul, jemaat Pakuure tempat saya menjalani masa vikariat kurang lebih satu tahun lamanya adalah panjang desa itu. Kira-kira 2 kilo meter panjangnya. Waktu itu harus jalan kaki, dan saya harus melayani semua kolom yang ada,” kata Pdt. Parengkuan mengenang.

Sementara soal keramahan masyarakatnya ternyata menjadi kenangan tersendiri. ”Waktu vikaris, saya tinggal di rumahnya keluarga Tewu-Nayoan. Saya masih ingat, anak-anak keluarga ini ada banyak, dan masih kecil-kecil waktu itu. Meski sangat sederhana, tapi keluarga ini begitu sukacita menerima saya. Mereka sangat senang saya bisa tinggal bersama mereka. Itu kesan yang saya tidak pernah lupa,” katanya.

Kehidupan bersama jemaat di masa itu menurut Pdt. Parengkuan, adalah sebuah pengalaman yang berharga dalam menapaki kehidupannya setelah melakukan pelayanan di daerah lain. ”Waktu itu usia saya masih kira-kira 25 tahun. Jadi pergaulan dengan pemuda, pemudi dan remaja berjalan baik. Kami sering membuat sandiwara Natal,” ujar pria kelahiran Tondano ini.

Interaksi dengan kaum muda di Pakuure di masa itu, membawa kesan yang mendalam bagi Pdt. Parengkuan. ”Banyak di antara pemuda dan remaja yang bersama-sama dengan saya dulu aktif di gereja yang kemudian menjadi pendeta dan guru agama. Ini suatu kenangan yang penuh arti bagi saya,” jelasnya dengan wajah yang berseri.

Setelah ditahbiskan menjadi pendeta, Pdt. Parengkuan tak lama kemudian langsung menjadi Tenaga Utusan Gereja di Halmahera, khusunya menjadi tenaga pengajar di Akademi Teologi di sana. ”Selama kurang lebih 7 tahun (1975-1982-red) di sana, banyak pengalaman berharga yang saya dapat untuk pembelajaran dalam rangka pelayanan.,” ujarnya penuh keramahan ini.

Menurutnya, beberapa pengalaman berharga yang diperolehnya selama melayani di Halmahera bersama-sama dengan jemaat dan para pelayan Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH), antara lain, dalam pelayanan itu dapat dirasakan betapa begitu besar kasih karunia Tuhan. Berikut, tantangan alam dalam melakukan pelayanan, misalnya ketika harus menyeberang pakai perahu dan berhadapan dengan ombak yang kencang, ini kemudian memunculkan suatu sikap penyerahan diri kepada Tuhan, Sang Pencipta. Selanjutnya, interaksi yang aktif dengan teman-teman sepelayanan di sana memberi banyak pelajaran mengenai pentingnya hidup bersama-sama.

Hingga sekarang, kata Pdt. Parengkuan, dirinya masih cukup dekat dengan sinode GMIH. ”Oktober tahun lalu, saya diundang oleh sinode GMIH untuk menggumuli bersama-sama makna penahbisan pendeta. Sekitar 300-an pendeta yang hadir waktu itu. Ini dilaksanakan terkait dengan keterlibatan pendeta di bidang politik.” ujar mantan ketua Sinode GMIM ini.

Tahun 1982 Pdt. Parengkuan kembali ke Tanah Minahasa. Dan oleh sinode GMIM menugaskannya menjadi pendeta jemaat di Imanuel Wanea. Tapi di jemaat tidak lama, hanya sekitar 2 ½ tahun, karena pada tahun 1984-1985 dipercayakan juga menjabat Pembantu Dekan Bidang Akademik di Fakultas Teologi UKIT. ”Tapi di jemaat Imanuel Wanea, meski tidak terlalu lama, tapi banyak pelajaran yang saya bisa dapat dalam memaknai panggilan pelayanan. Terutama adalah bagaimana memaknai panggilan sebagai pelayan di suatu komunitas perkotaan,” ujar dosen sejarah gereja ini.

Pdt. Parengkuan, juga diberkati dengan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan keilmuan teologi. Gelar S2-nya diperoleh di SEAGST. Gelar S3 diperolehnya di sekolah yang sama.

”Dari perjalanan kehidupan di dunia pelayanan ini, saya kemudian mendapat sebuah makna, bahwa pemberian diri penuh waktu, pengabdian pada pelayanan dan penyerahan diri kepada Tuhan, adalah modal penting bagi seorang pendeta,” tandas Pdt. Parengkuan.

4 komentar :

DJONNIE.H.TOREH mengatakan...

Yang membanggakan saya, ketika Pdt. Parengkuan (waktu itu sebagai Ketua Sinode) datang di Jepang. Sebagai seorang Ketua Sinode beliau tahu persis di Oarai ada beberapa Pendeta bawahannya. Dia mengumpulkan kami beberapa pendeta dan diberi pengarahan. Saya salut dan ini berbeda dengan Ketua Sinode yang sekarang, sampai dua kali datang di Jepang, namun tidak pernah mengadakan pertemuan dengan semua pendeta yang ada. Dan Beliau adalah seorang yang sangat sederhana (tidak angkuh atau sombong)dan sangat peduli dengan pergumulan bawahannya. Kesederhanaan dan kesungguhan dalam melaksanakan tugas pelayanan yang patut diteladani.
Pdt.Djonnie. Oarai-Jepang.

Selamat atas pelayanan yang dilakukan oleh Pdt.Parengkuan.
kesederhanaan dan berwibawa merupakan cirikhasnya. semoga Tuhan Yesus selalu menyertai dan memberkati bapak pdt.

Johnnes Tulungen mengatakan...

Selamat Jalan Pdt. Parengkuan. Rest in Peace. Thanks for your service and your role model.
Seharusnya para pelayan GMIM mencontohi keteladanan Pdt. parengkuan yang sangat sederhana, bersahaja, menjemaat, pemimpin yang melayani (true servant leader). GMIM, keluarga dan sahabat akan sangat kehilangan dengan kepergian Pdt, termasuk kami sekeluarga.

Anonim mengatakan...

TALK LESS AND LISTEN MORE
(Orang yang sedikit berbicara dan lebih banyak mendengar). That's him!
Thanks for everything, Rev. A.F.Parengkuan.
You will be remembered always.
(Sandra Pontoh - USA)

Labels

Recent news

About Us

Fakultas Teologi UKIT (Jln. Raya Tomohon Kakaskasen) Telp. (0431) 351081, Fax (0431) 351585